Jumat, 22 April 2011

APA HAK-HAK YANG HARUS ANDA KETAHUI DALAM KUHAP ???


        Indonesia sebagai Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia dan perlindungan terhadap warga negara. Hak warga negara dilindungi oleh negara baik warga negara dalam status tersangka, terdakwa, terpidana ataupun sebagai warga negara yang bebas, dan tidak membedakan jenis kelamin, umur, suku agama Ras dan lain-lain. Hak warga negara merupakan  hak asasi manusia yang dijamin didalam ketentuan UUD 45 pada pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Selain didalam UUD 45, perlindungan terhadap hak warga negara dijamin didalam Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) serta beberapa Undang-undang lain yang relevan.

        Penulis akan membahas mengenai hak warga negara yang diatur didalam KUHAP. Tulisan ini akan lebih fokus kepada perlindungan terhadap hak warga negara yang terlibat didalam peristiwa pidana, baik itu sebagai tersangka, terdakwa, terpidana dan juga perlindungan terhadap hak saksi atau korban tindak pidana.

       Disamping itu tulisan ini akan mengutip hak-hak warga negara yang sedang menjalani proses peradilan pidana yang diatur oleh Undang-undang lain selain KUHAP yang relevan, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang lainnya.

Didalam pertimbangan huruf a KUHAP  atau menyebutkan bahwa :

        “a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

         Ketentuan diatas memperjelas bahwa negara menjamin perlindungan hak warga negara tanpa ada kecualinya.. KUHAP sebagai pedoman pengatur Acara Pidana Nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah  didalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warga negara. Asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia telah diletakkan didalam Undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah dibuah menjadi Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, harus ditegakkan dengan KUHAP.

Adapun asas tersebut antara lain adalah  :
  • Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
  • Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
  • Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.
  • Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena  alat  pembuktian  yang  sah  menurut  undang-undang,  mendapat  keyakinan   bahwa   seseorang  yang  dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
  • Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
  • Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
  • Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
  • Warga negara yang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana tidak lagi dipandang sebagai “obyek” tetapi sebagai “subyek” yang mempunyai hak dan kewajiban dapat menuntut ganti rugi atau rehabilitasi apabila petugas salah tangkap, salah tahan, salah tuntut dan salah hukum.
       Penulis akan membahas mengenai hak warga negara yang diatur didalam KUHAP. Tulisan ini akan lebih fokus kepada perlindungan terhadap hak warga negara yang terlibat didalam peristiwa pidana, baik itu sebagai tersangka, terdakwa, terpidana dan juga perlindungan terhadap hak saksi atau korban tindak pidana.

       Disamping itu tulisan ini akan mengutip hak-hak warga negara yang sedang menjalani proses peradilan pidana yang diatur oleh Undang-undang lain selain KUHAP yang relevan, misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang lainnya.

                             PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

Hak Tersangka untuk didampingi Penasehat Hukum
        Warga negara yang menjadi tersangka berhak untuk didamping oleh Penasehat Hukum. 
Untuk kepentingan pembelaan dalam proses peradilan pidana seorang warga negara yang menjadi tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54 KUHAP).Selain itu seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 55 KUHAP).

       Bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (pasal 56 ayat (1) KUHAP). Pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum tersebut diberikan kepada tersangka atau terdakwa secara cuma-cuma (pasal 56 ayat (2) KUHAP).

      Jika tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana dikenakan penahanan, maka dia berhak untuk menghubungi penasehat hukumnya ( Pasal 57 KUHAP ayat (1) KUHAP). Selain itu berdasarkan ketentuan pasal 37 Undang –Undang Nomor 4  tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum dalam pasal ini diberikan oleh seorang penasehat hukum atau saat ini lebih dikenal dengan “advokat”. Dan menurut ketentuan pasal 38  Undang –Undang Nomor 4  tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.

Penangkapan
       Definisi penangkapan menurut pasal 1 butir 20 KUHAP adalah “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.

       Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum  dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.

    Perintah penangkapan menurut ketentuan pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup”ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. 

      Disamping itu ada pendapat lain mengenai “bukti permulaan yang cukup” , yaitu menurut Darwan Prints,SH, dalam bukunya Hukum Acara Pidana dalam praktek, Penerbit Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, cetakan revisi tahun 2002, halaman 50-51, bukti permulaan yang cukup adalah  :

Menurut Surat Keputusan Kapolri  SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982.

Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/I1982,tanggal 18 Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:
  • Laporan Polisi;
  • Berita Acara Pemeriksaan di TKP;
  • Laporan Hasil Penyelidikan;
  • Keterangan Saksi/saksi ahli; dan
  • Barang Bukti.
Yang telah disimpulkan menunjukan telah terjadi tindak pidana kejahatan (Din Muhamad, S.H.1987 : 12)

Menurut drs. P. A. F Lamintang, SH
Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan (drs.P.A.F.Lamintang,SH.1984 : 117).

Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL tanggal 21 Maret 1984
Bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal: Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya (Din Muhamad, S.H.1987 : 12).
Adapun pihak yang berwenang hak melakukan penangkapan menurut KUHAP adalah :
Penyidik yaitu :
  • Pejabat polisi Negara RI yang minimal berpangkat inspektur Dua (Ipda).
  • Pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus UU, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu).
Penyidik pembantu, yaitu :
  • Pejabat kepolisian Negara RI dengan pangkat minimal brigadier dua (Bripda).
  • Pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian Negara RI yang minimal berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a atau yang disamakan dengan itu).
Kecuali tertangkap tangan melakukan tindak pidana, warga negara berhak menolak penangkapan atas dirinya yang dilakukan oleh pihak diluar ketentuan diatas.

Warga negara yang diduga sebagai tersangka dalam peristiwa pidana berhak melihat dan meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap dirinya. Hal ini sebagaimana  ketentuan pasal 18  ayat (1) KUHAP yang menyatakan :

“Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.

Saat dilakukan penangkapan terhadap tersangka, tersangka berhak bebas dari segala tindakan penyiksaan ataupun intimidasi dalam bentuk apapun dari aparat yang menangkapnya.

Keluarga tersangka berhak untuk mendapat  tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) KUHAP, segera setelah penangkapan terhadap tersangka dilakukan.

Penahanan
Definisi Penahanan  sebagaimana ketentuan pasal 1 butir (21) KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-undang ini. Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan  bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara.

Namun, penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.

Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan pasal 20 KUHAP antara lain : 
  1. Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik;
  2. Untuk kepentingan  penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum;
  3. Untuk kepentingan pemeriksaan disidang Pengadilan, yang berwenang untuk menahan adalah Hakim.
Syarat-syarat untuk dapat dilakukan  penahanan  dibagi dalam 2 syarat, yaitu:
1. Syarat  Subyektif. Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu:
a. Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
b. Berdasarkan bukti yang cukup;
c. Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa:
  • Akan melarikan diri                                                                               
  • Merusak atau menghilangkan barang bukti
  • Mengulangi tindak pidana.
         Untuk itu diharuskan adanya bukti-bukti yang cukup, berupa Laporan Polisi ditambah dua alat bukti lainnya, seperti:   Berita Acara Pemeriksaan Tersangka/Saksi,   Berita Acara ditempat kejadian peristiwa, atau barang bukti yang ada.

2. Syarat Obyektif. Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif Ini diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yaitu:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, tetapi ditentukan dalam:
  • Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:  Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal    378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506;
  • Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;
  • Pasal 1, 2 dan 4 Undang-undang No. 8 Drt Tahun 1955 (Tindak Pidana Imigrasi) yaitu antara lain: tidak  punya dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan kepada orang    asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang sah;
  • Tindak Pidana dalam Undang-undang No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Dari uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (1) biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (4) dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai penahanan itu habis.

Dalam melaksanakan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan harus dilengkapi dengan  Surat perintah penahanan dari Penyidik, Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.

Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa.

Jenis-jenis Penahanan yang diatur dalam pasal 22 ayat (1) KUHAP adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Sedangkan Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diripada waktu yang ditentukan. 

Penahanan / perpanjangan oleh                      Waktu                           Dasar Hukum
1. Penyidik                                                   20 Hari                   Pasal 24 Ayat (1) KUHAP
   - Diperpajang JPU                                     40 Hari                  Pasal 24 Ayat (2) KUHAP

2. Penuntut Umum                                         20 Hari                  Pasal 25 Ayat (1) KUHAP
    -Diperpanjang Ketua PN                           30 Hari                  Pasal 25 Ayat (2) KUHAP 

3. Hakim Pengadilan Negeri                           30 Hari                 Pasal 26 Ayat (1) KUHAP 
    - Diperpanjang Ketua PN                           60 Hari                Pasal 26 Ayat (2) KUHAP 

4. Hakim Pengadilan Tinggi                             30 Hari                Pasal 27 Ayat (1) KUHAP 
    - Diperpanjang Ketua PT                            60 Hari                Pasal 27 Ayat (2) KUHAP

5. Hakim Mahkamah Agung                            50 Hari                Pasal 28 Ayat (1) KUHAP  
    - Diperpanjang Ketua MA                           60 Hari                Pasal 28 Ayat (2) KUHAP 

       Pengecualian dari jangka waktu penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24, 25, 26, 27, 28 KUHAP, untuk kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka/ terdakwa dapat diperpanjang dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
  • Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
  • Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana 9 tahun atau lebih (Pasal 29 ayat (1) KUHAP)
Tingkat                                         Diberikan Oleh                                           Lamanya
1. Penyidikan                                  Ketua PN                                                30 Hari
    - Perpanjangan                            Ketua PN                                                30 Hari


2. Penuntutan                                  Ketua PN                                                30 Hari
    - Perpanjangan                            Ketua PN                                                30 Hari


3. Pemeriksaan di PN                     Ketua PT                                                 30 Hari
    - Perpanjangan                            Ketua PT                                                30 Hari



4. Pemeriksaan Banding                  Hakim MA                                                30 Hari
    - Perpanjangan                            Hakim MA                                                30 Hari


5. Pemeriksaan Kasasi                     Ketua MA                                                30 Hari
    - Perpanjangan                            Ketua MA                                                30 Hari









Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada (Mengacu pada Pasal 1 Ayat 1 KUHP

        Artinya, sebuah perbuatan Tidak bisa dihukum kalau tidak ada atau belum ada peraturan yang melarang dan memberikan ancaman pidana untuk perbuatan itu.

       Misalnya : seseorang yang merokok di tempat umum tidak bisa ditindak secara pidana kalau tidak ada / belum ada peraturan yang menyebutkan bahwa barang siapa yang merokok di tempat umum diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak lima ratus ribu rupiah.

     Pasal ini juga mencegah seseorang diadili berdasarkan peraturan yang dibuat setelah perbuatan itu dilakukan. Misalnya, perbuatan yang dilakukan tahun 2009, ndak boleh dipidana berdasarkan undang-undang yang mulai berlaku pada tahun 2010. Istilah hukumnya, undang-undang itu tidak boleh berlaku surut.

Demikianlah . Untuk Pasal- pasal lainnya, saya tulis lain waktu yach.. Ass.. Wr Wb :)

Contoh Makalah Hukum Pengertian Penyidik Dan Penyidikan

           KUHAP dengan tegas membedakan istilah “Penyidik” atau “opsporing/interrogation’ dan “Penyelidik”. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP disebutkan bahwa “penyidik” adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

         Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa “Penyidikan” itu adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.

        Andi Hamzah, secara global menyebutkan beberapa bagian Hukum Acara Pidana yang menyangkut penyidikan adalah :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidikan
2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik
3. Pemeriksaan di tempat kejadian
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa
5. Penahanan sementara
6. Penggeledahan
7. Pemeriksaan atau interogasi
8. Berita Acara (penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat)
9. Penyitaan
10. Penyampingan perkara
11. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliannya kepada Penyidik untuk disempurnakan.

          Adapun mengenai “Penyelidik” menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah orang yang melakukan
“Penyelidikan” yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

           Dari batasan ini dapat disimpulkan bahwa tampak jelas hubungan erat tugas dan fungsi “penyidik” dan “penyelidik”. Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, terpisah dari fungsi penyidikan, melainkan hanya merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan, yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum.

Kamis, 21 April 2011

ANALISA YURIDIS TERJADINYA PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA/TERDAKWA DARI TINGKAT PENYIDIKAN SAMPAI DENGAN PROSES PERADILAN ( Studi Kasus Perkara No. 212/PID.B/2005/PN.TNG )


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Penulisan

Dengan terbentuknya KUHAP mengangkat dan menempatkan derajat dan harkat tersangka atau terdakwa dalam suatu kedudukan yang sederajat, sebagai makhluk manusia yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan KUHAP dalam posisi his entity and dignity as human being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Hukum harus ditegakkan! Namun dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa, tidak boleh ditelanjangi hak asasi utama yang melekat pada dirinya. Hak-hak yang dilindungi KUHAP terhadap tersangka dan terdakwa antara lain[1]:
a.      Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum
Tidak ada perbedaan di depan hukum baik tersangka, terdakwa atau aparat penegak hukum adalah sama-sama warga negara yang sama hak kedudukan dan kewajibannya di hadapan hukum yakni sama-sama bertujuan mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Dan siapa saja pun yang melakukan pelanggaran hukum akan mendapat perlakuan yang sama tanpa perbedaan. Peraturan hukum yang diterapkan kepada seseorang harus diterapkan kepada orang lain dalam kasus yang sama tanpa membedakan pangkat, golongan, agama dan kedudukan. Inilah salah satu penegakan hukum yang diamanatkan KUHAP, yang dilekatkan sebagai salah satu mata rantai hak asasi manusia yakni equal before the law. Oleh karena itu siapapun dan setiap orang harus diperlakukan secara sama tanpa diskriminasi dalam perlakuan dan perlindungan hukum, apakah dia tersangka atau terdakwa entitled without any discrimination to equal protection of the law.
b.      Harus dianggap tak bersalah
Setiap orang harus dianggap tak bersalah atau praduga tak bersalah sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap orang tersangka atau terdakwa, sampai kesalahannya dibuktikan dalam sidang di pengadilan yang bebas dan jujur di depan umum. Hak asasi inilah yang menjadi prinsip dalam penegakan hukum yang diamanatkan KUHAP yakni:
1.          Peresumption of Innocent atau praduga tak bersalah 
2.          Kesalahan seseorang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan yang bebas dan jujur atau fair trial
3.          Persidangan harus terbuka untuk umum
4.          Serta tanpa campur tangan dari pemerintah atau kekuatan social politik yang manapun
Berarti terdakwa harus diadili dalam suatu peradilan yang benar-benar mengemban independent judicial power without encroachments by government of political parties.
c.  Penangkapan atau penahanan didasarkan atas bukti permulaan yang cukup. Disamping penangkapan dan penahanan dibatasi secara limitative setiap penangkapan atau penahanan harus didasarkan atas bukti permulaan yang cukup. Tidak lagi semata-mata berdasarkan atas selera dan sikap masa bodoh dari aparat penegak hukum.
d.  Hak menyiapkan pembelaan secara dini. Untuk itu KUHAP telah memberi hak kepada tersangka atau terdakwa didampingi penasihat hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan. Sejak pemeriksaan penyidikan dimulai tersangka sudah berhak didampingi oleh penasihat hukum. Dalam tingkat pemeriksaan penyidikan penasihat hukum dapat berbicara dengan tersangka tanpa didengar oleh penyidik atau petugas Rutan. Jadi kedudukan penasihat hukum dalam tingkat pemeriksaan penyidikan bersifat within sight not within hearing. Artinya pembicaraan tersangka dengan penasihat hukum diawasi oleh petugas yang bersangkutan tetapi tidak boleh mendengar pembicaraan mereka. Sebaliknya  pemeriksaan yang dilakukan penyidik terhadap tersangka dapat dihadiri penasihat hukum dalam bentuk “dapat” mendengar dan melihat jalannya pemeriksaan atau within sight and within hearing.
Demikian antara lain beberapa ketulusan penggarisan hak asasi tersangka atau terdakwa yang dipancangkan KUHAP dalam cakrawala penegakan hukum dibumi nusantara tercinta.
KUHAP adalah hasil karya bangsa Indonesia sendiri di alam kemerdekaan dengan susah payah KUHAP baru dapat di tetapkan setelah bangsa Indonesia memasuki tahun ke 36 kemerdekaannya. Kejadian ini dapat dikatakan merupakan perlambatan yang seharusnya tidak boleh terjadi jika sejak semula kita sadar betapa pentingnya usaha peningkatan pembaharuan hukum yang seikrar dan senafas dengan aspirasi dan semangat panggilan yang menyuarakan kurun penegakan hak hak universal asasi manusia. Tiga puluh enam tahun merdeka masih kita relakan masyarakat dan bangsa negara ini hidup dalam tekanan perlakuan penegakan hukum yang diciptakan pada jaman penjajahan demi kepentingan tata tertib yang dikehendaki oleh rezim kolonial Belanda. Betapa banyak kita dengar rintihan pengalaman masa lalu di bawah aturan HIR. Penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir. Ada yang sudah bertahun-tahun mendekam dalam tahanan tapi orang dan berkasnya tak pernah kunjung sampai ke sidang pengadilan atau berkas perkaranya sudah bertahun-tahun dilimpahkan ke pengadilan namun perkaranya dibiarkan tanpa disidangkan sedang terdakwanya sudah kurus kering mendekam sekian tahun dalam jeruji tahanan. Sering dilakukan penangkapan atau penahanan tanpa surat perintah atau tanpa penjelasan kejahatan yang disangkakan atau didakwakan. Apalagi pihak keluarga yang ditahan akan kebingungan putus asa menghadapi tindakan penahanan anggota keluarganya. Sang istri sering terseok seok menggapai hutan belantara hanya untuk mengetahui di tempat mana suaminya ditahan
Apabila aparat penegak hukum melakukan tindakan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa harus diperhatikan hal hal sebagai berikut[2]:
1.      Wajib diberitahu alasan penahanan atau sangkaan dakwaan yang dipersalahkan atau dituduhkan kepadanya.
2.      Keluarga yang ditahan harus segera diberitahu tentang penahanan serta di mana ia di tahan.
3.      Dengan tindakan penahanan itu tersangka atau terdakwa tahu dengan pasti berapa lama setiap penahanan yang dilakukan oleh setiap instansi dalam setiap tingkat pemeriksaan. Sebab setiap instansi pemeriksaan hanya boleh menahan dalam batas waktu yang telah ditentukan secara limitatip.

Sikap-sikap yang harus dipegang oleh setiap aparat penegak hukum didalam menjalankan tugas dan wewenangnya maka ia harus berwibawa yang mampu bertindak atas landasan[3]:
a.      Pendekatan yang manusiawi, inilah salah satu landasan bertindak yang dikehendaki KUHAP. Tegakkanlah hukum dengan cara pendekatan yang manusiawi yang menjunjung tinggi human dignity. Yang mewajibkan aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan dengan cara pendeteksian yang ilmiah dengan metode “ scientific crime detection” yakni cara pemeriksaan tindak pidana yang berlandaskan kematangan ilmiah. Dan menjauhkan diri dari cara pemeriksaan konfensional dalam bentuk tangkap dulu dan peras pengakuan dengan jalan penyiksaan fisik dan mental. Dengan KUHAP sudah saatnya aparat penegak hukum mengasah jiwa, perasaan dan penampilan serta gaya mereka dibekali dengan kehalusan budi nurani yang tanggap akan rasa keadilan atau “sense of justice”
b.      Memahami rasa tanggung jawab , landasan ini sangat penting disadari mereka yang berhubungan dengan tindakan penegakan hukum. Sebab yang mereka hadapi adalah manusia sebagaimana dirinya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas maka Penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul ”ANALISA YURIDIS TERJADINYA PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA/TERDAKWA DARI TINGKAT PENYIDIKAN SAMPAI DENGAN PROSES PERADILAN”

B.           Pokok Permasalahan
Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 
1.          Bagaimana Kewenangan Penyidik dan Pengalihan Penahanan dari Penyidik Ke Penuntut Umum Terhadap tersangka?
2.          Bagaimana kewenangan Kejaksaan dan pengalihan Penahanan Dari Kejaksaan ke Pengadilan Terhadap terdakwa?
3.         

 
Bagaimana kewenangan Hakim Dalam Penahanan Terdakwa ?

C.            Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
a)     Untuk mengetahui Kewenangan Penyidik dan Pengalihan Penahanan dari Penyidik Ke Penuntut Umum Terhadap tersangka atau terdakwa
b)     Untuk mengetahui kewenangan Kejaksaan dan pengalihan Penahanan Dari Kejaksaan ke Pengadilan Terhadap tersangka atau terdakwa
c)     Untuk mengetahui Terdakwa kewenangan Hakim Dalam Penahanan
2.      Kegunaan Penelitian
a)     Mewujudkan efektifitas peraturan perundang-undangan dalam upaya melindungi hak hak tersangka atau terdakwa demi terciptanya penegakan hukum dan keadilan
b)     Dari segi teoritis:
1.      Menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bersifat praktis yang mampu memberikan wacana kepada para Mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang peralihan tanggung jawab dari penyidikan sampai proses peradilan terhadap tersangka atau terdakwa.
2.      Efektifitas KUHAP dalam upaya perlindungan hak tersangka atau terdakwa
3.      Memberikan analisa yuridis khususnya dalam membantu aparat penegak hukum dan masyarakat terhadap bentuk tanggung jawab aparat penyidik Kejaksaan, dan Hakim dalam upaya perlindungan hak tersangka atau terdakwa.
c)     Dari Segi Praktis
Mensosialisasikan pada masyarakat agar lebih memahami tentang berlakunya suatu peraturan sehingga apabila terjadi suatu pelanggaran yang dilakukan oleh aparat yang berwenang maka masyarakat akan tahu dan berusaha mengingatkan. Selain itu memperkaya pengetahuan kepada masyarakat akan hukum sehingga lebih meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hukum.

D.                                                                                                            Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penelitian di sini adalah menggunakan metode Yuridis Empiris di mana dalam penelitian dikumpulkan data-data yang diperoleh dari buku-buku dan peraturan yang berkaitan diperkuat dengan data di lapangan kemudian menghasilkan kesimpulan yang benar. Dalam penelitian ini digunakan metode sebagai berikut:
1.      Tipe Penelitian
a)     Penelitian hukum normative atau lebih dikenal dengan Library Research atau penelitian Pustaka) yaitu :
1)     Sebagai landasan ilmiah yang akan dikemukakan teori-teori yang berhubungan dengan pokok permasalahan dari referensi dan dokumen lainnya seperti buku-buku, makalah, hasil seminar, Undang undang serta karya ilmiah yanga ada kaitannya dengan permasalahan penelitian. Penelitian normative bertujuan untuk meneliti tentang perbandingan hukum, sejarah hukum dan sinkronisasi hukum, sistematika hukum, serta penemuan-penemuan asas-asas hukum positif.
b)     Penelitian hukum empiris (Field Resarch/Penelitian Lapangan) adalah penelitian tentang hukum di dalam pelaksanaannya, baik terhadap efektifitas hukum dalam masyarakat maupun identifikasi di lapangan.penelitian ini biasanya dilakukan dengan:
1)     Wawancara dengan informan dalam hal ini dengan pihak Penyidik, Panitera, Jaksa, Hakim yang mengadili perkara guna memperoleh keterangan nyata/konkrit tentang data yang diperlukan.
2)     Melakukan observasi (pengamatan) terhadap responden.
2.      Sifat Penelitian
    Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif analisis yaitu penelitian yang menggambarkan/ mendeskripsikan secara jelas dan cermat tentang hal-hal yang dipersoalkan. Dengan metode ini penulis mengadakan analisis untuk memperoleh gambaran tentang masalah-masalah yang dihadapi, yang selanjutnya menginventarisir permasalahan tersebut, khususnya yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan dari hasil analisis ditarik suatu kesimpulan


3.      Sumber Data
            Sumber data dalam penelitian ini terbagi atas dua jenis data yaitu:
a)     Data sekunder yang terbagi atas:
0)     Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan tersangka dan terdakwa yaitu KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) dan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
1)     Buku buku yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana yang dijadikan sebagai bahan analisa dalam penelitian ini adalah Buku Hukum Pidana Materiil, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II Pengantar Penelitian Hukum, Hukum Acara Pidana Indonsia, Bunga Rampai Kebijakan Publik,  dan Asas asas Hukum Pidana
2)     Bahan Hukum tersier yang terdiri dari kamus Hukum, Kamus Bahasa Belanda, kamus Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris.
b)     Data Primer merupakan data yang diperoleh langsung di lapangan melalui wawancara dengan responden untuk mempereoleh data dan fakta yang terjadi di lapangan.


4.      Cara dan Alat Pengumpulan Data
Cara dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a)     Membuat konsep secara tertulis dari bahan bahan yang diperoleh dari studi pustaka dengan cara meringkas atau mengambil intisari dari Buku yang ada kaitannya dengan masalah penelitian kemudian disimpan dalam bentuk dokumentasi untuk kemudian dipergunakan dalam pembahasan masalah penelitian
b)     Melakukan wawancara dengan para aparat penegak hukum yang menangani perkara kepada Penyidik, Panitera, Jaksa Penuntut umum dan Hakim yang mengadili perkara tersebut.
c)     Mengikuti atau mengamati proses persidangan untuk mengetahui bagaimana prosedur peradilan terhadap suatu perkara pidana.
5.      Analisis Data
            Di dalam suatu penelitian digunakan teknik analisa data, teknik analisa data ini terbagi atas dua bagian yaitu Teknik Analisa Kuantitatif dan Teknik Analisa Kualitatif. Dalam penelitian hukum khususnya digunakan teknik analisa data kualitatif disebabkan penelitian hukum bersifat deskriftif di mana dari data yang ada baik data primer atau data sekunder yang sudah terkumpul dan dibahas kemudian akan menghasilkan suatu kesimpulan.
E.           Landasan Teori dan Kerangka Teori
            Landasan teori yang dipakai dalam pembuatan skripsi ini adalah:
1.      Pasal 20 ayat (1, 2, 3) KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)  yang berbunyi sebagai berikut:
1)     Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana di maksud pasal 11 KUHAP berwenang melakukan penahanan
2)     Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
3)     Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang malakukan penahanan

2.      Pasal 22  ayat 1 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang berbunyi sebagai berikut:
      1) Jenis penahanan berupa:
a.      Penahanan rumah tahanan negara
b.      Penahanan rumah
c.      Penahanan kota

3.      Pasal 23 ayat 1 dan 2 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) yang berbunyi sebagai berikut:
1)     Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 KUHAP.
2)     Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan.


4.      Pasal 17 Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi sebagai berikut:
“ Setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana atau perdata maupun administrasi serta di adili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”

F.        Definisi Operasional
            Ada beberapa definisi yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini agar tidak terjadi salah penafsiran. Istilah tersebut antara lain:
1.      Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
2.      Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
3.      Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
4.      Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
5.      Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
6.      Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh Undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan
7.      Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannyaberdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
8.      Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

G.      Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan terdiri dari :
BAB I             PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian, landasan teori, definisi operasional dan sistematika pembahasan
BAB II            TINJAUAN UMUM TERHADAP PENAHANAN TERSANGKA ATAU TERDAKWA DARI PENYIDIKAN SAMPAI DENGAN PERADILAN
                        Membahas: Definisi dan tujuan penahanan, dasar penahanan, tata cara penahanan, jenis penahanan, pengalihan jenis penahanan dan tata cara pengalihan penahanan
BAB III           PENELITIAN PADA PERKARA NO 212/PID.B/2005 DARI TINGKAT PENYIDIKAN SAMPAI DENGAN PERADILAN
                        Terdiri dari: Identitas terdakwa, susunan persidangan, surat perintah penangkapan, surat perintah penahanan, surat penangguhan penahanan, penahanan Oleh Penuntut Umum,
BAB IV          PEMBAHASAN
Membahas: analisa yuridis terhadap tanggung jawab penyidik terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana dari penangkapan sampai proses penyidikan, bentuk pelimpahan wewenang dari penyidik ke Kejaksaan, dan analisa yuridis terhadap tanggung jawab kejaksaan terhadap terdakwa sampai ia memperoleh putusan Hakim
            BAB V            PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran
            DAFTAR PUSTAKA








BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP PENAHANAN
TERSANGKA OLEH PENYIDIK DAN TERDAKWA OLEH KEJAKSAAN DAN HAKIM DALAM PROSES PERADILAN

A.                                                                                                                                                                                                                                               Definisi dan Tujuan Penahanan

Masalah penahanan bukan hanya wewenang yang dimiliki oleh Penyidik
melainkan juga wewenang yang diberikan Undang-undang kepada semua instansi dan tingkat peradilan.
Apa yang dimaksud Undang-undang dengan penahanan? Dalam KUHAP pasal 1 butir 21 menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Penahanan[4] adalah:
            “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”

            Dari ketentuan  Pasal di atas maka dapat diketahui bahwa semua instansi penegak hukum yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim Pengadilan mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Juga dari ketentuan ini kita lihat penyederhanaan dan keseragaman istilah penahanan, tidak seperti yang tercantum dalam HIR yang membedakan dan mencampur aduk antara istilah penangkapan, penahanan sementara dan tahanan sementara. Yang dalam istilah Belanda disebut “de verdachte aan te houden” (pasal 60 ayat 1 HIR) yang berarti “menangkap tersangka” dan untuk menahan sementara digunakan istilah voorlopige aan houding” (pasal 62 ayat 1 HIR). Serta untuk perintah penahanan yang dimaksud pasal 83 C HIR digunakan istilah “Zijin gevangen Houding bevelen”
            Dalam KUHAP, semuanya telah disederhanakan. Tidak lagi dijumpai kekacauan antara penangkapan dengan penahanan sementara atau tahanan sementara. Juga tidak lagi kekacauan mengenai masalah wewenang yang berhubungan dengan wewenang penahanan sementara dan tahanan sementara. Yang ada sekarang hanya dua istilah dengan batas wewenang yang tegas.
            Tujuan penahanan dalam pasal 20 adalah sebagai berikut[5]:
1.      Untuk kepentingan penyidikan, penyidik, atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan.
Mengenai ukuran kepentingan penyidikan pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri secara obyektif; tergantung kepada usaha dan tindakan penyidik untuk menyelesaikan fungsi pemeriksaan penyidikan sehingga penyidik dapat benar-benar mencapai hasil penyidikan yang akan diteruskan kepada penuntu umum. Dan hasil penyidikan itu telah cukup memadai untuk dipergunakan sebagai bahan pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Berarti, jika pemeriksaan penyidikan sudah cukup, penahanan tidak diperlukan lagi, kecuali ada alasan lain untuk tetap menahan tersangka.
2.      Penahanan yang dilakukan oleh penuntut Umum, bertujuan untuk kepentingan penuntutan.
3.      Penahanan yang dilakukan Peradilan bertujuan untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan. Hakim berwenang melakukan penahanan dengan suatu penetapan yang didasarkan kepada perlu tidaknya penahanan dilakukan sesuai dengan kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan.

 

B.                                                                                                                                                                                                                                               Dasar Penahanan

Yang dimaksud landasan dasar dalam hal ini adalah meliputi dasar hukum keadaan atau keperluan penahanan serta syarat-syarat yang memberi kemungkinan bagi suatu tindakan penahanan. Antara yang satu dengan yang lain dari ketiga unsur tersebut, saling menopang kepada unsur yang lain. Sehingga kalau salah satu unsure tidak ada, tindakan penahanan kurang memenuhi ditinjau dari segi hukum. Misalnya; yang ada hanya unsur landasan hukum atau unsur obyektif tetapi tidak didukung oleh unsur keperluan atau unsur subyektif serta tidak pula dikuatkan oleh unsur syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Sehingga penahanan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.
Adapun unsur-unsur[6] yang menjadi landasan dasar penahanan adalah sebagai berikut:
1.      Landasan unsur yuridis
Merupakan dasar hukum atau obyektif, karena undang-undang sendiri telah menetukan pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana penahanan dapat diperlakukan. Tidak terhadap semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka atau terdakwa. Undang-undang sendiri telah menetukan baik secara umum maupun secara terperinci, terhadap kejahatan yang bagaimana pelakunya dapat dikenakan penahanan. Dasar unsur yuridis atau obyektif inilah yang ditentukan dalam pasal 21 ayat 4 yang menetapkan “Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana:
-         Yang diancam dengan pidana penjara “lima tahun atau lebih” hanya tindak pidana yang mempunyai ancaman lima tahun ke atas yang diperkenankan dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwanya. Kalau ancaman hukuman yang tercantum dalam pasal tindak pidana yang dilanggar oleh seseorang di bawah lima tahun, secara obyektif tersangka atau terdakwa tidak diperbolehkan hukum untuk dikenakan tahanan. Yang paling jelas tindak pidana yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun ialah kejahatan terhadap nyawa orang yang diatur dalam Bab XIX KUHP, mulai dari pasal 338 dan seterusnya.
-         Di samping aturan umum yang kita sebut di atas, penahanan juga dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana yang disebut pada pasal-pasal KUHP dan undang-undang pidana khusus di bawah ini sekalipun ancaman hukumannya kurang dari lima tahun. Barangkali alasannya sangat mempengaruhi kepentingan ketertiban masyarakat pada umumnya, serta ancaman terhadap keselamatan badan orang pada khususnya. Jadi yang termasuk dalam kelompok ini:
·        Yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP: pasal 282 ayat 3, pasal 296, pasal 335 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal 378, pasal 379a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506
·        Kelompok kedua adalah pasal-pasal yang berasal dari Undang-undang Tindak Pidana Khusus
2.      Landasan Unsur Keperluan
Unsur ini menitik beratkan kepada keadaan atau keperluan penahanan itu sendiri, ditinjau dari segi subyektifitas si tersangka atau terdakwa. Sehingga terdapat dua keadaan subyektif yakni keadaan subyektif tersangka atau terdakwa, yang dinilai pula secara subyektif oleh penegak hukum yang bersangkutan. Adapun unsur keadaan atau keperluan penahanan yang kita maksudkan, ditentukan dalam pasal 21 ayat 1, yaitu berupa adanya “keadaan yang menimbulkan kekhawatiran”:
·        Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri
·        Merusak atau menghilangkan barang bukti
·        Atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana
Semua keadaan yang “mengkhawatirkan” di sini  adalah keadaan yang meliputi subyektifitas tersangka atau terdakwa. Dan pejabat yang menilai keadaan kekhawatiran itu pun dapat dikatakan bertitik tolak dari penilaian subyektif. Bukankah sangat sulit menilai secara obyektif adanya niat tersangka atau terdakwa akan merusak barang bukti maupun hendak mengulangi tindak pidana adalah hal-hal yang penilainnya sangat subyektif. Memang secara teoritis bisa kita buat suatu konstruksi yang dapat menggambarkan keadaan yang mengkhawatirkan. Misalnya, tersangka sudah diketahui membeli tiket pesawat terbang ke luar negeri. Atau tersangka sudah menyiapkan perkakas atau alat yang serasi untuk mengurangi tindak pidana. Namun dalam konkreto sangat sulit menilai suatu keadaan yang mengkhawatirkan, dan keadaan mengkhawatirkan lebih erat ukurannya dengan penilaian subyektif dari orang yang merasa khawatir.
3.      Syarat yang ditentukan pasal 21 ayat 1
Disamping unsur-unsur penahanan yang disebut di atas, penahanan harus memenuhi syarat undang-undang seperti yang ditentukan dalam pasal 21 ayat 1:
·        Tersangka atau terdakwa “diduga keras” sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan,
·        Dugaan yang keras itu didasarkan pada “bukti yang cukup”
Dengan syarat penahanan ini berbeda dengan syarat penangkapan. Perbedaan itu dalam hal bukti. Pada penangkapan, syarat bukti ini didasarkan pada “bukti permulaan yang cukup”, Dengan demikian syarat bukti dalam penahanan lebih tinggi kualitasnya dari pada kualitas bukti pada tindakan penangkapan. Pada penangkapan, syarat adanya bukti sudah dianggap memadai apabila telah ada “bukti permulaan yang cukup” sedang pada penahanan didasarkan pada syarat “bukti cukup”.

 

C.                                                                                                                                                                                                                                               Tata Cara Penahanan

Cara penahanan atau penahanan lanjutan, baik yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim ialah dengan jalan memenuhi ketentuan pasal 21 ayat 2 dan ayat 3: Dengan surat perintah penahanan oleh penyidik atau penuntut umum, dan dengan surat penetapan oleh hakim
Dalam ketentuan ini terdapat perbedaan sebutan kalau penyidik atau penuntut umum yang melakukan penahanan dilakukan dengan jalan mengeluarkan atau memberikan “ surat perintah penahanan”. Dan apabila yang melakukan penahanan itu hakim perintah penahanan berbentuk “ surat penetapan”. Surat perintah penahanan atau surat penetapan penahanan harus memuat hal-hal[7] :
1.      Identitas tersangka atau terdakwa yang berupa penyebutan nama umur, pekerjaan, jenis kelamin dan tempat tinggal
2.      Menyebutkan alas an penahanan umpanya untuk klepentingan penyidikan atau untuk kepentingan pemeriksaan sidang pengadilan.
3.      Uraian singkat kejahatan yang dipersangkakan atau yang didakwakan kepadanya. Maksudnya sudah jelas yakni agar yang bersangkutan tahu mempersiapkan diri dalam melakukan pembelaan dan juga untuk kepastian hukum.
4.      Surat Perintah Penahanan juga harus menyebutkan dengan jelas di tempat mana ia ditahan. Hal inipun untuk memberi kepastian hukum baik bagi orang yang ditahan itu sendiri dan juga untuk keluarganya. Tidak seperti yang kita alami selama ini. Sering keluarga orang yang ditahan tidak tahu sama sekali dimana tempat tahanan keluarga mereka yang sedang menjalani tahanan.
5.      Tembusan surat perintah penahanan atau surat penetapan penahanan “harus” diberikan kepada keluarganya.
Pemberian tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan ataupun penetapan penahanan yang dikeluarkan oleh hakim “ wajib” disampaikan kepada keluarga orang yang ditahan hal ini dimaksudkan, disamping memberiu kepastian kepada keluarga, juga sebagai usaha kontrol dari pihak keluarga untuk menilai apakah tindakan penahanan sah atau tidak.
6.      Pihak keluarga diberi hak oleh undang-undang untuk meminta kepada pra peradilan untuk memeriksa sah tidaknya penahanan.

 

D.                                                                                                                                                                                                                                               Jenis Penahanan

Penentuan jenis-jenis tahanan dalam KUHAP merupakan hal baru dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia. HIR tidak mengenal berbagai jenis penahanan yanbg ada dalam HIR hanya penahanan di rumah, tahanan kepolisian, atau yang ada dalam HIR adalah penyebutan jenis tahanan berdasar pada instansi yang melakukan penahanan. Itu sebabnya dibedakan tahanan polisi, tahanan Jaksa atau tahanan hakim. Lain halnya dalam KUHAP telah memperkenalkan dengan resmi menurut hukum, adanya macam-macam jenis penahanan.
            Berbicara mengenai jenis penahanan yang resmi menurut KUHAP, kita dapat melihatnya adalam ketentuan dalam pasal 22 ayat (1). Menurut ketentuan ini jenis penahanan[8] dapat berupa:
1.      Penahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
Diantara ketiga jenis penahanan, penahanan RUTAN inilah yang paling banyak permasalahannya. Maslaah butama yang dihadapinya adalah pada saat KUHAP mulai berlaku adalah mengenai pembangunan penyediaan RUTAN. Pemerintah dihgadapkan pada masalah mendirikan sekian banyak rutan, yang memerlukan biaya pembangunan yang besar. Oleh karena itu sudah dapat dibayangkan betapa beratnya memenuhi penediaan Rutan dalam waktu yang singkat. Sedang orang yang dikenakan penahanan terus juga mengalir. Maka untuk sementara supaya kesulitan bisa di atasi penjelasan pasal 22 ayat (1) telah menggaraiskan pedoman kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang digariskan dalam penjelasan tersebut berupa pedoman: selama Rutan belum ada pada suatu tempat, penahanan dapat dilakukan di kantor Kepolisian, Kantor Kejaksaan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Sakit dan dalam keadaan yang mendesak di tempat lain.

2.      Penahanan Rumah
Penahanan dilakukan di rumah “tempat tinggal atau rumah kediaman” tersangka atau terdakwa. Selama tersangka/terdakwa berada dalam tahanan rumah dia harus “diawasi”. Jadi terhadap tersangka/terdakwa yang sedang menjalani penahanan Rumah berada dalam “pengawasan” pejabat yang melakukan tindakan penahanan rumah tersebut. Bagaimana cara pengawasannya, undang undang sendiri tidak menentukan. Dengan demikian pengatruran pengawasan penahanan rumah sepenuhnya tergantung kepada kebijaksanaan pejabat yang bersangkutan. Apakah harus dikawal atau harus diamati terus menerus, tentu tergantung dari kebutuhan dan keadaan yang menyangkut tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka/terdakwa serta sifat dan perilakunya. Atau barangkali pengawasannya dapat dilimpahkan pejabat yang bersangkutan kepada kepala desa maupun kepala RT atau RW. Yang terutama untuk tujuan pengawasan tersebut adalah untuk menghindarkan terjadinya segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
3.      Penahanan Kota
Berbeda halnya dengan penahanan rumah. Pada penahanan Rumah tersangka/terdakwa yang sedang menjalani tahanan itu diawasi. Lain halnya pada penahanan Kota, terhadapo mereka tidak dilakukan pengawasan langsung. Terhadap mereka undang-undang hanya memberi “kewajiban” untuk “melaporkan” diri pada waktu-waktu yang telah ditentukan (pasal 22 ayat (3)). 
Tentang penjadwalan kewajiban melaporkan diri ini, tidak ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian diserahkan kebijaksanaan sepenuhnya kepada pejabat yang mengekluarkan perintah penahanan kota tersebut. Serupa halnya dengan penahanan rumah, dalam penahanan kota pun, tersangka/terdakwa dilarang untuk keluar kota. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan pada penjelasan pasal 22 ayat 2 dan 3.  mereka dapoat keluarkota apabila telah mendapat ijin dari pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan kota. Jika perintah penahanan kota datangnya dari penyidik maka ijin keluar kota harus dimintanya ke penyidik, dan demikian seterusnya.

E.           Pengalihan Jenis Penahanan

Jenis-jenis tahanan yang disebutkan dalam pasal 22[9] secara nyata tampak adanya perbedaan berat ringannya ketiga jenis penahanan tersebut. Penahanan pada Rumah Tahanan Negara termasuk jenis penahanan yang terberat. Di sana mereka terus menerus berada dalam rumah tahanan dengan penjagaan yang sudah disediakan. Kemudian menyusul lebih ingan sedikit, pada jenis penahanan rumah. Mereka berada dalam rumah tempat kediaman sendiri. Hanya saja kebebasan mereka di batasi untuk keluar rumah. Serta mereka dapat “pengawasan” dari pejabat yang mengeluarkan perintah penahana rumah. Yang paling ringan adalah penahanan kota.pembatasan kebebasan mereka tidak terlampau dikekang. Mereka boleh berkeliaran disepanjang kota. Hanya keluar kota saja yang dibatasi tanpa izin dari pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan kota. Dari kenyataan ini, tentu saja seseorang yang ditahan akan berusaha mendapatkan penahanan yang lebih ringan seandainya penahanan atas diri mereka tidak dapat dihindari. Untuk itu undang-undang sendiri telah membuka kemungkinan akan adanya penahanan secara pertikal. Bisa saja peralihan itu dari yang terberat kepada penahanan yang lebih ringan. atau sebaliknya dari yang ringan kepada yang lebih berat. Dengan demikian baik kepada penyidik, penuntut umum, hakim mempunyai wewenang melakukan pengalihan penahanan sebagaimana yang diatur dalam pasal 23[10].

F.            Tata Cara Pengalihan Penahanan

Tata cara pengalihan penahanandari tingkat penyidikan sampai dengan proses peradilan adalah sebagai berikut[11]:
1.          Oleh penyidik dan penuntut umum dilakukan dengan “surat perintah” tersendiri yang berisi dan bertujuan untuk mengalihkan jenis penahanan
2.      Jika yang melakukan pengalihan itu hakim, perintah pengalihan diterangkan dalam suatu bentuk “surat penetapan” hakim
3.      Tembusan surat perintah pengalihan atau penetapan pengalihan jenis penahanan diberikan kepada tersangka/ terdakwa serta kepada instansi yang berkepentingan.
Yang dimaksud instansi yang berkepentingan adalah instansi yang terlibat atau dilibatkan dalam penahanan tersebut. Misalnya, seorang yang dikenakan penahanan rumah oleh penyidik. Untuk pengawasan penahanan rumah tadi, penyidik melimpahkannya kepada kepala desa. Dengan demikian kepala desa telah ikut dilibatkan sebagai pejabat yang berkepentingan dalam penahanan. Oleh karena itu tembusan surat perintah peralihan jenis tahanan harus diberikan kepadanya.
Bila kita memperhatikan ketentuan pengalihan jenis penahanan, nampaknya undang-undang hanya melihatnya dari sudut pejabatnya saja. Yakni menjelaskan adanya wewenang pejabat penegak hukum yang mengeluarkan perintah penahanan untuk mengalihkan jenis penahanan. Tapi tidak menyebut-nyebut tentang kebolehan pihak yang sedang ditahan untuk mengajukan permohonan pengalihan. Kita berpendapat, sekalipun undang-undang tidak menyebut hak atau kebolehan orang yang sedang di tahan mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan, hal itu tidak merukan larangan bagi mereka untuk meminta kepada pejabat yang bersangkuta untuk mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan. Oelh karena itu setiap saat mereka dapat meminta pengalihan penahanan dari penahanan rumah tahanan negara (RUTAN) ke jenis penahanan rumah atau penahanan kota. Dan pejabat yang besangkuta dapat memperkenankannya berdasar pertimbangan yang memungkinkan peralihan tersebut. Akantetapi sebaliknya pejabat yang bersangkutan tanpa dimintapun, dapat mengalihkan penahanan berdasar wewenang yang diberikan undang-undang kepadanya. Dia dapat mengalihkan penahanan kota ke jenis penahanan rumah tahanan negara.
Pengurangan masa tahanan.    
            Memperhatikan pasal 22 ayat 4[12], terdapat suatu ketentuan yang memerintahkan kepada hakim atau pengadilan yang memutuskan suatu perkara, agar memperhatikan masa penangkapan dan penahanan untuk kemudian ”dikurangkan” seluruhnya dari jumlah hukuman pidana yang dijatuhkan.
            Apakah ketentuan ini bersifat ”imperatip” atau bersifat memaksa (dwingen recht). Sebab jika berdasar HIR, pengurangan masa tahanan bukan imperatip sifatnya,”dapat” dikurangkan masa tahanan tersebut. Oleh karena itu berdasar praktek penegakan hukum dimasa lalu, sering juga masa tahanan tidak dikurangkan dalam menjatuhkan putusan pidana.
Apa yang digariskan dalam ketentuan pasal 22 ayat 4 KUHAP adalah bersifat imperatip atau memaksa, dan bukan bersifat fakultatip. Dengan sifat memaksa yang terjadang didalamnya, dengan sendirinya merupakan “kemestian” bagi hakim untuk mengurangi masa penangkapan dan masa penahanan dalam putusan pidana yang akan dijatuhkan.        
            Alasan untuk melihat ketentuan ini bersifat memaksa atau imperatif, mari kita lihat susunan redaksi dan kata-katanya. Sama  sekali tidak dijumpai kata-kata “boleh” ataupun “dapat”. Dari redaksi dan susunan kalimatnya, jelas terasa merupakan kalimat perintah, seperti yang dapat kita baca; masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Dari susunan kalimat ini terasa adanya kandungan perintah untuk mengurangkan masa penangkapan dan penahanan dalam putusan hakim. Itu sebabnya kita berpendapat, agar ketentuan ini lebih jelas sebagai hal yang mengandung perintah dan memaksa, sebaiknya antara kata penahanan dan dikurangkan, disispkan kata “harus” atau “mesti” ataupun “wajib”, sehingga kalimat itu berbunyi: harus atau mesti ataupun wajib dikurangkan.
Alasan lain yang memperkuat dugaan bahwa ketentuan pengurangan ini bersifat imperatif, didasarkan pada rasa keadilan, kepatutan dan kemanusiaan. Bukankah masa penangkapan dan masa tahanan itu sendiri sudah merupakan ganjaran penderitaan yang diterimanya sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya? Kalau benar-benar kita menyadarinya sebagai ganjaran penderitaan, sudah sewajarnya penderitaan penahanan itu ikut diperhitungkan, dan kemudian dikurangkan dari hukuman yang akan dijatuhkan kepada dirinya.
Bagaimana cara mengurangkan masa tahanan dimaksud? Caranya diatur dalam pasal 22 ayat (5) yang “membedakan” pengurangan masa penahanan ditinjau dari jumlah pengurangannya. Semakin berat jenis penahanannya semakin “penuh” jumlah pengurangannya, seperti yang dapat kita baca sebagai berikut[13]:
-         Penahanan rumah negara, pengurangannya sama dengan jumlah masa penahanan. Berarti 1 hari masa tahanan harus dikurangi secara berbanding 1 hari dengan 1 hari.
-         Penahanan rumah, pengurangannya sama dengan 1/3 X jumlah masa penahanan. Jadi kalau masa penahanan rumah yang dialami seseorang misalnya 50 hari, maka pengurangannya adalah 1/3 X 50 hari.
-         Penahanan Kota, jumlah pengurangan masa penahanannya sampai dengan 1/5 X jumlah masa penahanan kota yang telah dijalani seseorang. Jika seseorang dikenakan penahanan kota selama 50 hari, maka jumlah pengurangan masa penahanan adalah 1/5 X 50 hari.
Dari cara cara memperhitungkan pengurangan masa tahanan yang kita uraikan, nampak adanya perbedaan berat dan ringannya kualitas jenis penahanan. Berat ringannya kualitas jenis penahanan, telah mendorong pembuat undang-undang untuk membuat perbedaan dalam pengurangan jumlah masa penahanannya dalam keputusan hakim.
Apakah perbdaan jenis penahanan yang mengandung sifat berat ringan ini tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat? Tentu saja bisa menimbulkan keresahan apabila nanti dalam kenyataan, apabila setiap orang yang berduit atau yang mempunyai kedudukan melakukan kejahatan yang berat, selalu hanya dikenakan penahanan rumah tahanan negara, mata masyarakat akan melihat praktek yang sedmikian sebagai perlakuan yang diskriminatif. Oleh karena itu, sejak awal para pejabat penegak hukum harus benar-benar mawas diri untuk meletakkan jenis penahanan, tepat seperti yang dikehendaki oleh Undang-undang. Kalau tidak demikian maka masalah penahanan ini pasti akan menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat luas.

G.          Batas Waktu Penahanan
Suatu hal yang baru dan menggembirakan dalam KUHAP, salah satu diantaranya adalah ketentuan pembatasanyang limitative masa dan perpanjangan penahanan. Sedemikian rupa ketatnya pembatasan-pembatasan masa waktu penahanan dan perpanjangan, hal ini merupakan prinsip hukum yang tidak dapat ditawar-tawar dalam KUHAP. Dengan demikian dalam masalah yang berkaitan dengan jangka waktu penahanan dapat kita tarik beberapa prinsip yang melandasinya, antara lain:
-         Prinsip pembatasan jangka waktu penahanan yang diberikan kepada setiap instansi penegak hukum, telah ditentukan secara limitative tanpa bisa diulur-ulur dengan dalih apapun juga. Sekali jangka waktu masa penahanan telah lewat, tidak lagi bisa dipermasalahkan dan dipermainka. Bagi instansi yang berani mempermainkan dapat dihadapkan dalam pemeriksaan pra peradilan atau pada persidangan pengadilan, sehubungan tuntutan ganti rugi yang dapat diminta oleh tersangka atau terdakwa yang merasa dirugikan.
-         Prinsiup perpanjangan tahanan yang terbatas waktunya serta terbatas permintaan perpanjangannya. Pada setiap tingkat dan instansi, hanya diperkenankan sekali saja memintakan perpanjangan masa tahanan, jika yang dimintakan maksimum perpanjangan
-         Prinsip pelepasan atau pengeluaran demi hukum apabila masa tahanan telah lewat dari batas jangka waktu yang telah ditentukan. Siap atau tidak siap pemeriksaan, apabila telah terlampaui jangka waktu penahanan yang telah ditentukan, tanpa ampun tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan, harus dikeluarkan demi hukum
Dengan adanya prinsip-prinsip di atas, pembuat undang-undang dan masyarakat sudah dapat mengharapkanlenyapnya dari permukaan bumi Indonesia praktek-praktek penahanan yang memilukan. Akan diharapkan suatu keadaan yang pasti dalam masa penahanan. Tidak lagi akan dijumpai seorang tahanan yang tidak tahu kapan urusan penahanannya selesai.




BAB III
PENELITIAN TERHADAP PERKARA NO 212/PID.B/20005/PN.TNG

            Dalam penelitian skripsi ini akan meneliti perkara No 212/PID.B/2005/PN.TNG dengan terdakwa Drs. Djafar  Sani Lewa Alias Jefri tentang perkara tindak pidana penganiayaan.
            Dalam penelitian ini penulis akan meneliti dari awal pemeriksaan yaitu pada waktu ia di duga oleh penyidik melakukan tindak pidana kemudian dilakukan penyidikan oleh penyidik. Setelah melalui proses penyidikan dan penyidik menetapkan bahwa tersangka harus ditahan dalam tahanan dengan pengawasan penyidik untuk mendapatkan informasi serta yang paling penting adalah apakah dengan penyidikan ini seorang tersangka akan berubah status menjadi bebas dan apabila terbukti dia tidak bersalah maka penyidik harus membebaskan dan merehabilitasi nama tersangka.
            Setelah dilakukan pemeriksaan oleh penyidik ternyata tersangka memang benar terbukti secara hukum melakukan tindak pidana. Selain itu penyidik juga menyiapkan barang bukti untuk melengkapi BAP yang akan dilimpahkan ke Kejaksaan. Setelah mempelajari BAP dari penyidik maka Kejaksaan Negeri Tangerang menunjuk seorang jaksa untuk menyidangkan perkara yang dilakukan oleh si tersangka. Selain itu kewenangan dari penyidik sudah berakhir dan kejaksaan melakukan penahanan  terhadap tersangka. Penahanan tersebut dilakukan sampai dengan pelaksanaan eksekusi dari putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum  yang tetap.
Dari hasil penelitian dilapangan maka penulis memperoleh data=-data sebagai berikut:

 

A.           Identitas Terdakwa

Nama                                                :   Drs. Djafar  Sani Lewav Alias Jefri
Tempat lahir                                    :   Ambon
Umur/tanggal lahir                         :   50 Tahun/1 April 1954
Kebangsaan/Kewarganegaraan    :   Indonesia
Jenis Kelamin                                 :   Laki-laki
Tempat tinggal                                :   Jl Gandaria No 12, Rt. 007/002        Jagakarsa- Jakarta Selatan
Agama                                              :   Islam
Pekerjaan                                         :   Wiraswasta

B.           Susunan Persidangan

Wahyu Sektianingsih, SH, MH      sebagai Hakim Ketua Majelis
Permadi Widhiyatno, SH. M.Hum sebagai Hakim anggota
Barman Sinurat, SH.                        sebagai Hakim Anggota
Masyhudi, SH                                   sebagai Jaksa Penuntut Umum
Werdi Haswari Murti, SH               sebagai Panitera Pengganti

 

C.           Surat Perintah Penangkapan

Untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan tindak pidana dan atau bagi pelaku pelanggaran yang telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak datang tanpa alasan yang sah, maka perlu mengeluarkan surat perintah.
Surat perintah penangkapan ini dikeluarkan pada tanggal 17 Nopember 2003  oleh Polda Metro Jaya bagian Direktorat Reserse Kriminal Umum. Berlakunya surat perintah penangkapan ini dari tanggal 17 Nopemvber 2003 sampai dengan 17 Maret 2004.
Dikeluarkannya surat perintah penangkapan ini karena tersangka (Drs. Djafar  Sani Lewav Alias Jefri) diduga keras telah melakukan tindak pidana pengeroyokan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP.

Adapun bunyi Pasal 170 KUHP adalah sebagai berikut:
a)     Barangsiapa di muka umum, bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
b)     Yang berslah dipidana :
Ke-1   dengan pidana  penjara selama-lamanya tujuh tahun, kalau ia dengan sengaja merusak barang atau jikalau kekerasan yang dilakukannya itu mehyebabkan orang mendapat luka
Ke-2   dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun kalau kekerasan itu menyebabkan orang mendapat luka berat
Ke-3 dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun, kalau kekerasan itu menyebabkan matinya orang
Selain memerintahkan penangkapan terhadap tersangka juga diperintahkan untuk melakukan penggeledahan rumah, badan, dan pakaian tersangka.
Surat perintah penangkapan ini dikeluarkan oleh Drs. Idham Azis, Msi pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi NRP 63010868 sedangkan yang diperintahkan untuk melakukan penangkapan adalah Racmat pangkat Ajun Komisaris Polisi NRP 57110579 dengan 10 (sepuluh) anak buahnya.
Surat penangkapan ini diserahkan kepada :
1.          Tersangka (Drs. Djafar  Sani Lewav Alias Jefri) ditandatangani
2.          Keluarga tersangka  yang diwakili dan ditandatangani

Sedangkan yang menyerahkan surap perintah penangkapan adalah Akmad Pangkat Bripka NRP 63070914.
Setelah melaksanakan surat perintah pengakapan diperintahkan kepada Racmat untuk membuat Berita Acara Penangkapan dan Berita Acara penggeledahan.
Adapun isi dari Berita Acara tersebut adalah sebagai berikut;
1.          Yang bersangkutan ditangkap sehubungan dengan perkara pidana penganiayaan sebagaimana di maksud dalam pasal 351 (1) KUHP (kitab Undang Undang Hukum Pidana)
2.      Tersangka ditangkap pada tanggal 26 Januari 2004 di rumah tersangka selanjutnya tersangka dibawa ke Polda Metro Jaya untuk proses selanjutnya.
Berita acara penangkapan ini dibuat berdasarkan :
1.          Laporan Polisi No. Pol. : LP/2476/K/X/2003/SPK Unit “1” tanggal 21 Oktober 2003
2.          Surat Perintah penangkapan No. Pol. : SP. Kap/1739/XI/2003/Dit Reskrimum tanggal 17 November 2003
3.          Pasal 18 KUHAP
Berita acara ini dibuat oleh Racmat Ajun Komisaris Polisi NRP 57110579 sebagai Penyidik/ Kasubdit V Jatanras yang dikerjakan pada kantor kepolisian tersebut di atas bersama-sama dengan :
Helmi Yuswanto       Inspektur Polisi                    NRP.61120157
            Rudy Kauntu             Brigadir Polisi Kepala         NRP. 67050091
Agus Ariyanto          Brigadir Polisi                       NRP. 70030197

 

D.           Surat Perintah Penahanan

Setelah dilakukan penangkapan oleh penyidik apabila terbukti bersalah maka tersangka dapat ditahan untuk keperluan pemeriksaan.
Tujuan dari surat perintah penahanan adalah untuk kepentingan penyidikan karena tersangka diduga keras melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan sehingga tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka perlu dikeluarkan surat perintah penahanan.
Hal ini didasarkan pada:
b.      Pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 11, pasal 12, pasal 22, pasal 54 ayat (1) KUHAP
c.      Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepoilisian Negara
d.      Laporan Polisi No. Pol. : LP/2476/K/X/2003/SPK Unit I  tanggal 21 Oktober 2003
e.      Surat perintah Penyidikan No. Pol. : SP. Sidik/3127/XI/2003/Dit. Reskrimum tanggal 5 Nopember 2003
Setelah dilakukan penahanan terhadap tersangka maka tersangka tersebut ditempatkan di Rumah Tahanan Negara Polda Metro Jaya untuk selama 20 hari terhitung mulai tanggal 27 Januari 2004 sampai dengan 15 februari 2004.
Setelah dikeluarkan surat perintah penahanan maka yang ditugaskan melakukan penahanan harus membuata Berita Acara Penahanan. Berita Acara penahanan tersebut pada prinsipnya berisi hal-hal sebagai berikut:
a. Pada tanggal 27 januari tahun 2004 jam 12.00 WIB, Racmat Ajun Komisaris Polisi NRP 57110579  selaku Penyidik dibantu oleh :
Helmi Yuswanto     Inspektur Polisi                    NRP.61120157
              Rudy Kauntu           Brigadir Polisi Kepala         NRP. 67050091
  Agus Ariyanto        Brigadir Polisi                       NRP. 70030197
Yang didasarkan pada :
1.  Surat perintah Penahanan No. Pol.: SP.Men/    /I/2004/Dit Reskrimum tanggal 27 Januari 2004
2.  Laporan Polisi No. Pol. : LP/2476/K/X/2003/SPK Unit “1” tanggal 21 Oktober 2003
3.  Yang bersangkutan  yaitu tersangka ditahan sehubungan dengan perkara pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP.
4.  Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka maka didapatkan bukti yang cukup untuk melakukan penahanan. Sebelum tersangka dimasukkan ke Rutan tersangka dilakukan pemeriksaan oleh Dokter Polri dan ternyata dalam keadaan sehat jasmani rohani.  Setelah dilakukan pemeriksaan dokter maka pemeriksaan selanjutnya adalah :
a)     Sidik Jari
b)     Pemotretan
c)     Barang Titipan
b.  Berita Acara Penahanan ini dibuat berdasarkan kekuatan sumpah jabatan kemudian ditutup serta ditandatangani di Jakarta pada hari, tanggal, bulan serta tahun Surat ini dibuat.
c.  Sebagai pemberitahuan kepada keluarga tersangka maka Penyidik mengeluarkan surat pemberitahuan Penangkapan dan Penahanan kepada keluarga tersangka Drs. M. Djafar Sani Lewa als. Jefri.
E.           Surat Penangguhan Penahanan
Pada tanggal 29 Januari 2004 saudara Soraya selaku Istri dari tersangka  mengajukan surat permohonan penangguhan penahanan dengan kewajiban akan menjamin terdakwa:
a.      Tidak akan melarikan diri
b.      Tidak akan mempersulit pemeriksaan
c.      Tidak akan mengulangi perbuatannya (tindak pidana)
Serta menyatakan :

1.      Sanggup menghadapkan tersangka sewaktu-waktu diperlukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan

2.      Sanggup dan segera menyerahkan uang jaminan tersebut di atas kepada pejabat yang berwenang apabila ternyata tersangka melarikan diri dan atau tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan pasal 31 KUHAP dan pasal 35, 36 PP No. 37 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

              Ketentuan mengenai hak dan kewajiban sehubungan dengan masalah penangguhan penahanan adalah berdasarkan ketentuan pasal 31 KUHAP dan pasal 35 dan 36 PP No 37 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
              Pada tanggal 11 Februari 2004 Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penangguhan Penahanan dengan No. Pol : SP. Han/27/11/2004/Dit. Reskrimum yang pada pokoknya berisi hal-hal sebagai berikut:
a)     Pertimbangan: Bahwa setelah dilakukan pemeriksaan terdapat bukti yang cukup tersangka diduga keras melakukan tindak pidana dan terhadapnya dapat dikenakan penahanan, akan tetapi dengan mempertimbangkan permintaan tersangka atau keluarganya serta memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan Undang-undang, serta situasi masyarakat setempat, maka dipandang perlu mengeluarkan surat perintah penangguhan penahanan ini.
b)     Dasar dikeluarkannya surat penangguhan penahanan ini adalah sebagai berikut:
1)         Pasal 31 ayat (1) KUHAP
Dalam ketentuan pasal 31 ayat (1) KUHAP menyatakan:
“ Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan”

Ketentuan di atas menyebutkan adanya syarat yang ditentukan artinya ialah:

1.      Wajib lapor
2.      Tidak keluar rumah atau kota
Masa penangguhan penahanan dari seseorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk masa status tahanan.
2)         Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
3)         Laporan Polisi No. Pol. : LP/2476/K/X/2003/SPK Unit 1 tanggal 21 Oktober 2003
4)         Surat Perintah Penahanan dengan No. Pol : SP. Han/49/1/2004/Dit. Reskrimum tanggal 27 Januari 2004
5)         Surat permohonan Penangguhan penahanan dari keluarga tersangka tertanggal 28 Januari 2004
c)     Pokok-pokok perintahnya adalah sebagai berikut:
1)         melakukan penangguhan penahanan terhadap tersangka
2)         menyelenggarakan administrasi penangguhan penahanan yang menyangkut masalah jaminan dan atau persyaratan yang ditentukan serta melakukan pengawasan pelaksanaannya
3)         untuk penangguhan penahanan ini diberikan jaminan uang disimpan di Panitera Pengadilan Negeri
4)         untuk penangguhan penahanan dijamin oleh keluarga/isteri tersangka yang bernama Soraya
5)         mengawasi tersangka untuk mematuhi syarat-syarat yang ditentukan  (wajib lapor bagi tersangka dan tidak keluar rumah/kota tanpa ijin)
6)         segera melaporkan pelaksanannya dan membuat Berita Acara Penangguhan Penahanan

F.        Berita Acara Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan terhadap:
a.      Tersangka
Bahwa tersangka pada hari selasa tanggal 21 Oktober 2003 sekitar jam 18.10 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Oktober 2003 dalam tahun 2003 bertempat diterminal A Bandara Soekarno Hatta atau setidak-setidaknya  pada suatu tempat lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tangerang yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, dengan senagaja melakukan penganiayaan terhadap saksi korban Qomari Anwar.
b.      Saksi-saksi
Pada pokoknya saksi-saksi yang terdiri dari
1.      Qomari Anwar sebagai Rektor Uhamka
2.      Dirja Muhammad sebagai security
3.      Amirudin sebagai security
Pada intinya terdakwa membenarkan semua keterangan dari saksi yang dimintai keterangan.

G.          Penahanan Oleh Penuntut Umum
Terdakwa ditahan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 1 Januari 2005 sampai dengan 20 februari 2005 hal ini didasarkan pada:
a.      Surat Penolakan penandatangan Berita Acara Penahanan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Pada pokoknya surat ini berisi hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan surat perintah kepala Kejaksaan Tingi Banten Nomor: Print-32/ 0.6.4/Ep.1/02/2005 tanggal 1 Februari 2005 untuk melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap terdakwa: Drs. Djafar Sani Lewa Als. Jefry tersebut terhitung mulai tanggal 1 februari 2004 sampai dengan  20 Februari 2005 di Rumah Tahanan Negara Tangerang selama 20 (dua puluh) hari, ternyata tersangka keberatan menandatangani Berita Acara tersebut.
b.      Surat perintah Penahanan (Tingkat Penuntutan) Nomor Print-32/ 0.6.4/Ep.1/02/2005
Pada prinsipnya Surat Perintah penahanan ini berisi hal-hal sebagai berikut:
-     Berdasarkan
1.      Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 8 (3), pasal 14 c, pasal 20 ayat (2) jo pasal 21, 22, 23 dan 25
2.      Undang-undang Republik Indonesia Nomo 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
3.      Berkas Perkara dari Polda Metro Jaya Nomor Pol. : BP/504/VIII/2004/Dit. Reskrimum tanggal 31 Agustus 2004 dalam perkara atas nama terdakwa Drs. Djafar Sani Lewa als Jeffry
4.      Surat Perintah Penahanan dari Penyidik Polda Metro Jaya No.Pol.: SP. Han/49/I/2004/ Ditreskrimum tanggal 27 januari 2004
5.      Surat Penangguhan Penahanan dari Penyidik Polda Metro Jaya No. Pol: SP. Han/27/II/2004/Dit. Reskrimum tanggal 11 Februari 2004
6.      Saran Pendapat Jaksa Penuntut Umum
-     Pertimbangan
1.      Uraian singkat telah terjadi suatu tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh Tersangka Drs. Djafar Sani Lewa als Jeffry terhadap korban Qomari Anwar pada hari selasa tanggal 21 Oktober 2003 sekira jam 18.10 Wib di Terminal A Bandara Soekarno Hatta Cengkareng dengan cara tersangka memukul korban di wajah sebanyak 2 (dua) kali sehingga menderita luka/pendarahan dihidung dan dirawat di Rumah Sakit Jakarta.Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat (1) KUHP
2.      berdasarkan hasil pemeriksaan berkas perkara dari Penyidik, diperoleh bukti yang cukup, terdakjwa diduga keras melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan dan dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana
3.      bahwa syarat-syarat yang telah ditentukan Undang-undang tingkat peyelesaian perkara, keadaan terdakwa situasi masyarakat setempat telah terpenuhi, sehingga dipandang perlu  untuk mengalihkan jenis penahanan.
4.      bahwa oleh karena itu diperlukan surat perintah Kepala  Kejaksaan Tinggi Banten
-     Perintah
Memerintahkan kepada Masyhudi SH sebagai Jaksa Muda dan Dwi Wahyurianto, SH sebagai Ajun Jaksa
Jaksa Penuntut umum melakukan penahanan terhadap terdakwa karena di khawatirkan terdakwa akan melarikan diri, merusak, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi perbuatan pidana.
Setelah dilakukan penahanan maka Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang mengeluarkan Surat Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum Untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana. Adapun tugas dari Jaksa Penuntut Umum tersebut adalah sebagai berikut:
a)     Melaksanakan penahanan/pengalihan jenis penahanan/penangguhan penahanan/pengeluaran dari tahanan/pencabutan penangguhan penahanan dan meneliti benda sitaan/barang bukti.
b)     Melakukan pemeriksaan tambahan perkara-perkara tersebut
c)     Melaksanakan penghentian penuntutan
d)     Melaksanakan penuntutan perkara ke pengadilan
e)     Melaksanakan penetapan Hakim/Ketua Pengadilan Negeri
f)      Melakukan perlawanan terhadap penetapan hakim/ Ketua Pengadilan Negeri
g)     Melakukan upaya hukum
h)     Memberikan pertimbangan atas permohonan grasi terpidana
i)       Memberikan jawaban/tangkisan atas permohonan peninjauan kembali keputusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
j)       Menandatangani berita acara pemeriksaan PK (peninjauan kembali)
k)     Melaporkan setiap pelaksanaan tindakan hukum berdasarkan perintah penugasan ini dengan berita acara.

H.          Putusan Hakim yang menetapkan Penahanan Pada Terdakwa
            Setelah memperhatikan beberapa alat bukti yang dihadapkan di muka persidangan dan berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum sehingga setelah melalui pemeriksaan dari tingkat penyidikan sampai dengan proses persidangan maka Majelis Hakim berkesmpulan bahwa terdakwa telah secara sah melawan hukum melakukan tindak pidana sebagaimana di ancam dalam pasal 351 ayat (1) KUHP.
            Berdasarkan hasil pemeriksaan selama proses persidangan maka Majelis Hakim menetapkan keputusannya sebagai berikut:
1.          Menyatakan terdakwa: DRS. Djafar Sani Lewanusa Alias Jefri secara sah dan meyakinkan bersalah malakukan tindak pidana Penganiayaan
2.          Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas hari)
3.          Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

4.          Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan.
5.          Memerintahkan agar barang bukti, berupa Surat Visum Et Repertum luka dari Rumah sakit Jakarta atas nama : Qomari Anwar tertanggal 21 Oktober 2003, tetap terlampir dalam berkas
6.          Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.1000,- (seribu rupiah)












BAB IV
ANALISA YURIDIS TERHADAP TANGGUNG JAWAB
PENAHANAN TERHADAP TERSANGKA/TERDAKWA
DARI TINGKAT PENYIDIKAN SAMPAI DENGAN
PROSES PERADILAN

A.        Kewenangan Penyidik dan Pengalihan Penahanan Tersangka ke Penuntut Umum

Dalam kaitannya dengan Perkara No 212/PID.B/2005/PN.TNG maka proses penahanan yang dilakukan oleh penyidik sudah memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Dalam proses awal penyelesaian No perkara pidana ada tiga pejabat penegak hukum yaitu penyelidik, penyidik dan penyidik pembantu. Penyelidik dijabat oleh pejabat kepolisian negara Republik Indonesia, Penyidik dijabat oleh oleh pejabat polisi negara RI dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang secara khusus oleh Undang-undang, sedangkan penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara RI yang diangkat oleh kepala kepolisian negara RI berdasarkan syarat kepangkatan tertentu.
Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang sebagai penyidik oleh undang-undang khusus itu misalnya saja polisi kehutanan, pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan lain sebagainya.
Salah satu kewenangan penyidik adalah penahanan terhadap tersangka bila didapatkan bukti yang kuat serta untuk kepentingan pemeriksaan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan.
Untuk menjamin agar supaya segala tindakan penyidikan dilakukan dengan prosedur yang cepat, maka dalam ketentuan pasal 122 KUHAP bahwa dalam hal tersangka di tahan, dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan ia harus diperiksa oleh penyidik.
Dengan dimulainya pemeriksaan oleh penyidik maka akan segera tersangka mengetahui tindak pidana apa yang disangkakan kepadanya sehingga dengan demikian ia dapat mempersiapkan pembelaannya atau dapat segera meminta bantuan pada seorang penasihat hukum.
Dari ketentuan pasal 122 terkandung adanya hak dan kewajiban yaitu hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan pada satu pihak dengan kewajiban penyidik dalam tempo satu hari sesudah penahanan harus dilakukan pemeriksaan. Dalam kenyataan jaminan akan terlaksananya ketentuan tersebut di atas di dalam praktek penegakan hukum masih diragukan. Karena pelanggaran atas ketentuan ini tidak ada sanksinya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dapat meminta ganti kerugian kepada praperadilan atas salah satu alasan yang ditentukan dalam pasal 95 ayat (2) KUHAP yakni berdasar alasan tindakan atau perlakuan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang. Selama tersangka berada dalam tahanan, tersangka atau keluarganya maupun penasihat hukumnya dapat mengajukan:
1.      Keberatan atas penahan yang dilakukan
Dalam hal ini tersangka dapat mengajukan permohonan keberatan atas penahanan terhadap dirinya karena ia merasa yakin tidak melakukan perbuatan pidana selain itu juga apabila tidak terpenuhinya barang bukti dan alat bukti.
2.      Dapat mengajukan keberatan atas jenis penahanan yang dilakukan
Seperti apa yang ditentukan dalam pasal 22 KUHAP mengenai tiga jenis penahanan: yaitu penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota.
Sesuai dengan jenis-jenis penahanan tersebut di atas tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan atau permohonan agar terhadap tersangka dilakukan peralihan jenis penahanan, misalnya dari RUTAN ke tahanan rumah atau tahanan Kota.
3.      Penyidik berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada yang lain. Bukan hanya dari jenis yang paling berat kepada yang paling ringan akan tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 23 ayat (1) KUHAP
Jika terjadi pengalihan jenis penahanan, harus dilakukan secara tersendiri “dengan surat perintah”dari penyidik. Tembusan surat perintah pengalihan diberikan kepada tersangka serta kepada “keluarganya” dan kepada instansi yang berkepentingan seperti instansi rumah tahanan negara (Rutan).
4.      Penyidik berwenang sesuai dengan ketentuan dalam pasal 23 dan pasal 123, penyidik dapat mengabulkan permintaan atau keberatan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya baik yang berupa pelepasan tersangka dari tahanan maupun untuk mengalihkan jenis tahanan dari penahanan rumah tahanan negara ke jenis tahanan rumah atau tahanan kota. Pengabulan untuk itu didasarkan pada pertimbangan perlu tidaknya tersangka tetap ditahan atau tidak. Ataupun perlu tidaknya ditahan dari jenis tahanan yang berat kepada yang lebih ringan.
Dengan pembebasan atau pengalihan didasarkan pertimbangan perlu tidaknya dilakukan penahanan maupun jenis penahanan tertentu, sangat beralasan agar permohonanatau keluarganya mengajukan dasar alasan kenbberatan atas penahanan maupun atas jenis penahanan tertentu,  dilandasi oleh alasan-alasan yang mampu mendukung keberatan atau permohonan. Tentu hal ini tidak mengurangi wewenang penyidik untuk menentukan sikap, seandainyapun keberatan atau permohonan tanpa alasan. Bahkan tanpa adanya diajukan keberatan oleh tersangka, keluarga atau penasehat hukumnya penyidik atas wewenang yang diberikan hukum kepadanya dapat melepaskan atau merubah jenis tahanan tersangka, jika menurut pertimbangannya penahanan tidak lagi diperlukan.
Jika keberatan yang diajukan tidak dikabulkan oleh penyidik maka menurut ketentuan dalam pasal 123 ayat (3) menyetakan bahwa dalam ketentuan
Adapun jangka waktu penahanan yang berhak dilakukan oleh penyidik adalah 20 hari dan apabila memang sangat diperlukan untuk dilakukan penahanan lagi untuk mendapatkan keterangan dari tersangka maka Penuntut Umum dapat memperpanjang penahanan selama 40 (empat puluh) hari.
            Atas dasar sumber wewenang yang diberikan hukum kepada seorang penyidik, hanya dapat melakukan perintah-perintah penahanan untuk jangka waktu 20 hari. Apabila diperlukan demi untuk kepentingan pemeriksaan penyidik yang belum selesai, dapat memintakan perpanjangan kepada penuntut umum yang berwenang untuk memperpanjangnya paling lama 40 (empat puluh) hari.
Dengan demikian lama maksimum atau batas jangka waktu masa penahanan yang diperbolehkan undang-undang bagi instansi penyidik, terbatas 20 + 40 hari = 60 hari, dengan ketentuan tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan tersangka dari tahanan sekalipun belum berakhir jangka waktu penahanan tersebut, jika ternyata kepentingan pemeriksaan sudah terpenuh dan pemberian perpanjangan dari penuntut umum bukan mutlak harus 40 hari, yang 40 hari ini adalah batas perpanjangan maksimum.
Ini berarti Penuntut umum dapat memberikan perpanjangan secara parsial atau sebagian saja menurut kebutuhan pemeriksaan penyidikan. Misalnya perpanjangan yang diberikannya hanya 10 (sepuluh) hari atau 20 (dua puluh) hari saja. Kalau masih diperlukan, dapat dipenuhinya sampai batas maksimum perpanjangan yang ditentukan pasal 24 ayat 2. setelah lewat jangka waktu 60 hari, penyidik harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Ini berarti, apabila jangka waktu maksimum sudah dilewati, dengan sendirinya penahanan tersangka batal menurut hukum. Dengan sendirinya tersangka harus dikeluarkan dari penahanan tanpa melalui prosedur apapun. Oleh karena itu untuk mencari jalan keluar dalam praktek, agar seorang panjahat jangan sampai berkeliaran di lingkungan masyarakat sebelum perkaranya selesai diperiksa di sidang pengadilan, masing-masing instansi mulai dari penyidik sampai kepada hakim, mengusahakan suatu mata rantai penahanan yang agar sebelum habis batas jangka waktu maksimum masa penahanan yang dimilikinya habis, harus segera melimpahkan berkas perkara yang telah diputusnya ke Pengdilan Tinggi sebelum batas penahanan yang dimilikinya berakhir. Demikian seterusnya sampai Ke Mahkamah Agung
Dengan cara demikian akan terjamin suatu kontinuitas penahanan yang berkesinambungan sampai perkara itu memperoleh keputusan yang berkekuatan tetap, seandainya terdakwa mempergunakan upaya biasa yang diberikan hukum kepadanya. Kalau cara-cara yang seperti ini tidak dituruti, bisa saja seorang penjahat kaliber besar akan berkeliaran di tengah-tengah masyarakat sebelum perkaranya mendapat putusan, sebagai akibat dari sambungan penahanan yang terputus disebabkan terlampauinya batas waktu panahanan ataupun karena lambatnya proses penyelesaian perkara. Batas tahanan maksimum dari semua instansi sudah habis, dengan demikian demi hukum penjahat harus dikeluarkan dari tahanan, tapi perkaranya sendiri belum juga memperoleh keputusan yang berkekuatan tetap. Kejadian-kejadian inilah yang harus dihindarisebagai akibat pembatasan yang limitative dari penahanan. Oleh karena itu masing-masing instansi sejak semula harus memperkirakan dengan cermat penyelesaian suatu kasus, supaya jangan sampai terjadi seorang yang sudah diketahui masyarakat ramai sebagai pelaku tindak pidana yang sadis, dapat berkeliaran karena akibat keterlambatan menyelesaikan perkaranya. Sehingga orang itu terpaksa dikeluarkan dari tahanan disebabkan sebelum perkaranya memperoleh keputusan yang berkekuatan hukum tetap, telah habis batas maksimum masa tahanan yang dapat dikenakan kepadanya.

B.           Kewenangan Penuntut Umum dan Proses  Penahanan Terdakwa Sampai Dengan Putusan Pengadilan

Setelah dilakukan penahanan oleh penyidik untuk dimintai keterangan serta untuk memastikan benar tidaknya telah dilakukannya perbuatan pidana oleh tersangka, dari hasil penyidikan bahwa tersangka terbukti kuat telah melakukan perbuatan pidana hal ini didasarkan pada hasil BAP Penyidik, karena terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana maka Penyidik melimpahkan kewenangan terhadap tersangka ke Penuntut Umum untuk dilakukan penuntutan dalam proses persidangan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, wewenang melakukan upaya paksa penahanan, bukan hanya merupakan wewenang yang ada pada instansi penyidik saja. Tetapi merupakan wewenang yang diberikan undang-undang baik kepada penyidik, penuntut umum dan hakim dalam sebuah tingkat pemeriksaan keadilan. Maka sesuai dengan ketentuan pasal 25 KUHAP, undang-undang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk melakukan penahannan terhadap tersangka. Untuk lebih jelas mari kita lihat ruang lingkup wewenang kepada penuntut umum tersebut.
Adapun tujuan penahanan yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum, dapat kita lihat pada pasal 25 ayat 2 KUHAP, yakni untuk kepentingan penuntutan yang meliputi: kepentingan fungsi, kepentingan mempersiapkan dan pembuatan surat dakwaan seperti yang dimaksud dalam pasal 140 ayat 1 KUHAP. Jadi apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil pemeriksaan penyidikan telah sempurna dalam waktu secepatnya penuntut umum membuat surat dakwaan. Atas alasan pembuatan surat daklwaan serta untuk memudahkan menghadirkan terdakwa kemuka persidangan, penuntut umum dapat melakukan penahanan. Akan tetapi jangan lupa bahwa dalam melakukan upaya paksa penahanan  demi untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum harus bertitik tolak dari syarat-syarat penahanan yang telah ditentukanundang-undang.Yakni harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 21, baik ditinjau dari segi syarat:
1.  Yuridis atau obyektif, memenuhi ketentuan yang diperinci pada pasal 21 ayat 4, yang menentukan pinsip bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana yang diancam dengan ancaman hukuman lima tahun keatas atau terhadap pasal-pasal tindak pidana yang disebut satu persatu dalam pasal 21 ayat 4 huruf b.
2.  Syarat obyektif seperti yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (1):
-     Adanya dugaan keras yang menimbulkan kekhawatiran

a)     Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri

b)     Dikhawatirkan tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti

c)     Dikhawatirkan tersangka akan mengulangi tindak pidana

-     Adanya dugaan keras tersangka melakukan tindak pidana berdasar bukti yang cukup.
Jadi di dalam mempergunakan kewenangan penahanan yang dilakukan Penuntut Umum terhadap seorang tersangka demi untuk kepentingan penuntutan, sama sekali tidak bisa terlepas dari persyaratan yuridis dan subyektif. Tanpa memenuhi persyaratan tersebut, penahanan yang dilakukan Penuntut Umum dapat dianggap tidak beralasan menurut undang-undang. Akibatnya tersangka yang bersangkutan dapat meminta pemeriksaan sah tidaknya penahanan tersebut kepada praperadilan, dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi. Oleh karena itu setiap penahanan yang dilakukan oleh Penuntut Umum harus diujikannya lebih dulu dengan syarat-syarat penahanan yang ditentukan dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP, agar jangan tergelincir melakukan upaya paksa penahanan yang bertentangan dengan undang-undang.
Dalam pasal 21 KUHAP disebutkan bahwa penahanan dilakukan apabila seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana.
Adanya penahanan lanjutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan-alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
Hal penting yang harus kita ketahui sehubungan dengan adanya penahanan adalah batas waktu wewenang penahanan yang dapat dilakukan oleh Penuntut Umum dapat kita lihat dalam ketentuan-ketentuan mengenai Batas waktu penahanan secara umum yang diatur dalam pasal 25 KUHAP seperti di bawah ini
1.      Selama 20 hari atas wewenang yang melekat diri Penuntut Umum itu sendiri seperti yang ditegaskan pasal 25 ayat (1) yang menyebutkan bahwa perintah penahanan yang diberikan kepada Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama 20 hari.
2.      Jangka waktu 20 hari tadi apabila masih diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk itu
3.      Lama perpanjangan yang dapat diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri tidak lebih dari 30 hari
4.      Perpanjangan yang dapat diberikan hanya untuk satu kali saja. Siap atau tidak siap pemeriksaan penuntutan, perpanjangan hanya untuk satu kali 30 (tiga puluh) hari saja. Kecuali jika perpanjangan diminta atau diberikan secara menyicil, dapat diberikan beberapa kali, asal tidak melampaui jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Pembatasan perpanjangan inilah salah satu yang paling fundamental yang membedakan system penahanan yang terdapat dalam HIR dan KUHAP.
Pada system HIR, permintaan dan perpanjangan yang diminta dan diberikan Pengadilan Negeri kepada Penuntut Umum, tidak terbatas. Setiap kali ada permintaan perpanjangan penahanan, dapat diberikan berkali-kali untuk 30 hari tanpa ada batas waktu.
Tidak jarang perpanjangan diberikan untuk sepuluh atau dua puluh kali. Sehingga sifat perpanjangan penahanan HIR telah melenyapkan kepastian hukum dalam penahanan. Perbedaan kedua yang perlu mendapat perhatian dalam perpanjangan penahanan ialah penegasan yang diberikan dalam penjelasan pasal 25 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alasan yang benar-benar penting menurut hukum, guna kepentingan pemeriksaan atau penuntutan dan untuk permintaan perpanjangan penahanan harus diikuti dengan resume pemeriksaan.
Oleh karena itu setiap permintaan perpanjangan yang tidak menegaskan alasan-alasan kepentingan perpanjangan penahanan serta tidak melampirkan resume hasil pemeriksaan, perpanjangan yang demikian harus ditolak oleh pejabat yang berwenang memberikan perpanjangan.
Dari apa yang ditulis di atas batas wewenang penahanan dan perpanjangan penahanan yang ada pada kekuasaan Penuntut Umum, tidak lebih dari 20+30 hari = 50 hari. Lewat dari pada jangka waktu tersebut tanpa mempersoalkan apakah pemeriksaan penuntutan telah siap atau tidak, tersangka harus dikeluarkan dari penahanan demi hukum atau penahanan yang dilakukan penuntut umum sendiri selama 20 (dua puluh) hari telah lewat tanpa dimintakan perpanjangan kepada Ketua Pengadilan Negeri, terdakwa harus dikeluarkan demi hukum apabila jangka waktu 20 hari tadi terlampaui. Pembebasan tersangka dari dalam penahanan demi hukum, dilakukan tanpa syarat dan tanpa prosedur. Oleh karena itu, untuk menghindari hal yang seperti ini, seandainya penuntut umum berpendapat bahwa tersangka masih perlu lagi dilakukan penahanan, sesegera mungkin mengajukan permintaan perpanjangan, sebelum jangka waktu 20 hari tadi terlampaui.
Apa yang dijelaskan pada uraian ini adalah batas jangka waktu penahanan yang diberikan undang-undang kepada penuntut umum atas dasar ketentuan umum. Akan tetapi di samping ketentuan umum ini, terdapat pengecualian perpanjangan yang bisa melampaui batas waktu 20 + 30 hari. Hal ini diatur pada pasal 29 KUHAP.
Dalam ketentuan ini adanya penahanan yang dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan artinya pemeriksaan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu penahanan yang ditentukan. Selain itu juga mengatur ketentuan terhadap tersangka atau terdakwa yang mengalami ganguan fisik dan mental yang berat dalam arti keadaan tersangka atau terdakwa tersebut yang tidak memungkinkan untuk diperiksa karena alasan fisik atau mental.
Dalam ayat (7) huruf a menyatakan bahwa walaupun berkas perkara belum dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, keberatan terhadap sah atau tidaknya penahanan pada tingkat penyidikan atau penuntutan yang diperpanjang berdasarkjan pasal 29 ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dan diputus.
Dalam huruf b nya disebutkan ketentuan mengenai perpanjangan penahanan dalam tingkat pemeriksaan kasasi sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dan (3) tidak dapat diajukan keberatan karena Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir dan yang melakukan pengawasan tertinggi terhadap perbuatan pengadilan lain.
Pengecualian batas waktu penahanan
Seperti apa yang telah kita singgung, terhadap ketentuan umum batas penahanan yang diberikan pasal 25 KUHAP kepada penuntut umum, pasal 29 masih memberikan kemungkinan kepada Penuntut Umum untuk melebihi batas waktu penahanan yang 50 hari tersebut. Berdasar ketentuan pasal 29, Penuntut Umum guna kepentingan penuntutan, perpanjangan penahanan terhadap tersangka masih dapat diminta oleh penuntut umum.
Perpanjangan penahanan dimaksud dapat dimintakan kepada Ketua pengadilan Negeri dengan waktu perpanjangan dapat diminta untuk jangka waktu 2X30 hari tersebut tidak dapat diminta dan diberikan sekaligus. Tetapi harus bertahap untuk setiap 1X30 hari. Apabila masih diperlukan, baru dapat dimintai 30 hari lagi. Jadi meskipun pasal 29 ayat (2) memberi kemungkinan pengecualian perpanjangan 2X30 hari, tetapi permintaan dan pemberiannya hanya dapat dilakukan secara bertahap untuk masing-masing 1X 30 hari.
Pengecualian perpanjangan yang dibenarkan pasal 29, harus berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan, guna kepentingan pemeriksaan yang belum dapat diselesaikan dalam waktu penahanan yang ditentukan secara umum, dikarenakan hal-hal di bawah ini:
1.      Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang dibuktikan dengan pemeriksaan medis oleh tenaga kesehatan dan peneribitan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tersebut mengalami gangguan fisik dan mental yang berat. Sehingga peempatan seorang tersangka atau terdakwa yang mengalami gangguan fisik dan mental yang berat untuk sementara di tempatkan di rumah sakit jiwa sampaiu dengan ia sembuh dan apabila ia telah sembuh maka ia akan diperiksa kembali.
2.      Perkara yang sedang diperiksa di ancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih
Perkara yang diancam dengan hukuman pidana selama sembilan tahun penjara atau lebih dapat dimintakan pengecualian perpanjangan penahanan berdasar pasal 29, jika benar-benar perpanjangan itu diperlukan berdasar alasan yang patut dan penahanan itu sendiri tak mungkin dihindari, guna penyelesaian pemeriksaan.
Sepintas lalu ada manfaat dan kerugian pengecualian dari perpanjangan penahanan berdasarkan ketentuan dalam pasal 29, manfaat tersebut adalah:
a.      Manfaatnya adalah dengan adanya pengecualian perpanjangan penahanan tersebut, memberi kesempatan kepada penuntut umum untuk lebih seksama mempelajari dan menyiapkan surat dakwaan. Serta memperkecil kemungkinan untuk mengeluarkan tersangkan yang benar-benar dianggap masyarakat berbahaya dari penahanan demi hukum sebelum perkaranya disidangkan ke muka pengadilan.
b.      Keburukan atau kerugiannya adalah pengecualian perpanjangan penahanan pasal 29 tadi, bisa menimbulkan ekses memperlambat pemeriksaan dan membuat lama proses penahanan dari apa yang diperlukan. Mungkin penuntutan perkara telah dapat diselesaikan dalam jangka waktu 50 (lima puluh) hari, tapi oleh karena penuntut umum lebih mengetahui untuk memanfaatkan pasal 29, penyelesaian penuntutan diperlambatnya dan meminta perpanjangan ketua Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan pasal 29.
Hal seperti ini tentu agak sulit dipermainkan atas alasan tersangka menderita gangguan fisik mental. Karena untuk itu harus ada bukti surat keterangan dari dokter. Akan tetapi terhadap pasal 29 ayat (1) huruf b; yakni perkara yangsedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih, sungguh sangat mudah memanipulasinya.
Hal ini disebabkan apabila ada alasan untuk menyelesaikan pemeriksaan dengan menjelaskan bahwa perkaranya diancam dengan hukuman penjara sembilan tahun ke atas, sudah dapat diminta pengecualian perpanjangan berdasar pasal 29. Sehingga besar kemungkinan dalam praktek hukum, terhadap tersangka yang dituduh melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara sembilan tahun ke atas, akan mengalami penahanan yang melewati batas maksimum penahanan umum dengan jalan memafaatkan pengecualian yang diperbolehkan dalam pasal 29.
Lalu bagaimana menhindari praktek yang terlampau cenderung mempergunakan ketentuan pengecualian ini? agak sulit untuk membatasi, semata-mata lebih banyak bergantung kepada keadaan dan ketelitian pejabat yang berwenang memberikan perpanjangan pengecualian tersebut. Dengan demikian, dari pejabat yang berwenang memberikan perpanjangan diharapkan ketelitian dan rasa tanggung jawab dalam menilai setiap permintaan perpanjangan pengecualian.

Dalam pengalihan jenis penahanan penuntut umum mempunyai wewenang untuk mengalihkan jenis penahanan dari jenis satu ke jenis yang lain. Baik dari jenis penahanan rumah tahanan negara, rumah atau tahanan kota kepada jenis penahanan yang lebih ringan atau sebaliknya.
Dalam penangguhan penahanan, penuntut umum dapat melakukan penangguhan penahanan baik dengan bersyarat atau tanpa bersyarat, seperti yang diatur pada pasal 31. penangguhan penahanan ini dapat diberikan penuntut umum, baik berdasar wewenang yang ada padanya maupun atas permintaan terdakwa.
Akan tetapi sebaliknya, berdasar wewenang yang ada padanya sewaktu-waktu penangguhan penahanan dapat dicabut kembali oleh penuntut umum. Pencabutan penangguhan ini pada hakekatnya, apabila tersangka telah melanggar syarat-syarat penangguhan yang telah ditetapkan.
Atas wewenang dan perintahnya sendiri penuntut umum dapat melakukan penahanan paling lama untuk jangka waktu 20 hari. lewat waktu 20 hari apabila tidak ada perpanjangan dari Ketua Pengadilan Negeri, dengan sendirinya penahanan berakhir demi hukum dan terdakwa harus dikeluarkan demi hukum.
Penuntut Umum dapat meminta perpanjangan penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri tapi perpanjangan yang dapat diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah paling lama 30 hari.
Perpanjangan ini diminta oleh Penuntut Umum demi kepentingan penuntuttan yang belum selesai. Di sini kita lihat perbedaannya dengan sifat dan wewenang perpanjangan yang diatur dalam HIR. Permintaan dan wewenang ketentuan Pengadilan Negeri untuk memberikan perpanjangan, sifatnya tanpa batas atau tanpa limit. Itu sebabnya terjadi penahanan yang berlarut-larut tanpa penyelesaian perkara . kadang-kadang tersangka yang ditahan sama sekali tidak mempunyai dasar hukum lagi. Sebab setelah ditelusuri ternyata perpanjangan penahanan sudah terputus. Lain halnya dalam KUHAP, setiap perpanjangan penahanan pada setiap instansi, hanya diberikan untuk satu kali saja. Tidak lebih dari pada itu, tidak dikenal lagi permintaan dan pemberian perpanjangan yang berkali-kali. Siap atau tidak selesai pemeriksaan, tidak ada jalan lain dari pada mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan, apabila batas waktu maksimum sudah berakhir. Dan mengeluarkan dari tahanan oleh karena terlampauinya batas waktu adalah demi hukum dan tanpa syarat.

Dari ketentuan wewenang Penuntut Umum mengeluarkan perintah penahanan, ditambah dengan haknya untuk meminta perpanjangan, batas waktu maksimum yang dapat dilakukannya tidak lebih dari 20 hari + 40 hari = 60 hari dengan penggarisan.
Tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan terdakwa dari tahanan sekalipun batas waktu maksimum belum berakhir, apabila kepentingan pemeriksaan belum terpenuhi juga permintaanh perpanjangan bukan otomatis harus dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Dia dapat menolak permintaan perpanjangan apabila berdasar resume yang disampaikan penuntut umum kepadanya, ternyata cukup alasan untuk menolak perpanjangan. Atau perpanjangan itu diberikannya tidak penuh 30 (tiga puluh hari), tapi hanya untuk 7 hari sampai 20 hari saja. Hanya diberikan sebagian saja, sesuai dengan kebutuhan yang nyata dari kepentingan pemeriksaan. Jika perpanjangan yang diberikan Ketua Pengadilan Negeri bersifat parsial, hal itu masih memberi kemungkinan lagi bagi penuntut umum untuk memintakan perpanjangan sampai terpenuhi batas maksimum perpanjangan yang ditentukan pasal 25 ayat (2) KUHAP.

Setelah lewat batas waktu masa penahanan yang ditentukan undang-undang, siap atau tidak siap pemeriksaan terpaksa terdakwa harus dikeluarkan dari penahanan demi hukum. Pengeluaran demi hukum ini adalah tanpa syarat dan prosedur.

 

C.           Kewenangan Hakim Terhadap Penahanan Terdakwa

Setelah dilakukan pemeriksaan melalui proses persidangan yang bertahap maka Hakim menjatuhkan putusan bahwa terdakwa telah terbukti bersalah secara sah menurut hukum sehingga Hakim memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk melakukan penahanan sebagaimana putusan yang telah dijatuhkan.
Semua hakim pada semua tingkat peradilan mulai dari hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung masing-masing mempunyai wewenang melakukan penahanan sesuai dengan batas-batasjangka waktu yang ditentukan oleh Undang-undang.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengetahui sejauh mana kewenangan Hakim Pengadilan Negeri dalam melakukan penahanan.
Setiap hakim pada pengadilan Negeri yang sedang memeriksa perkara, demi untuk kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Kemudian apabila diperlukan lagi guna kepentingan pemeriksaan, Hakim yang bersangkutan dapat meminta perpanjangan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat. Tapi perpanjangan tidak boleh lebih dari 60 (enam puluh) hari. selesai atau tidak  selesai pemeriksaan, tidak ada lagi jalan lain untuk memperpanjang penahanan dan maksimum waktu penahanan berakhir.
Dengan demikian batas waktu penahanan yang dapat dilakukan oleh hakim pada pengadilan negeri baik atas perintah yang bersumber pada wewenang yang diberikan hukum kepada dirinya, maupun atas dasar perpanjangan yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri hanya mencapai batas maksimum 30 hari + 60 hari dengan catatan tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan terdakwa dari penahanan sekalipun masa tahanan belum berakhir jika penahanan dianggap tidak diperlukan lagi untuk kepentingan pemeriksaan
Permintaan perpanjangan tidak otomatis harus dikabulkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Bisa saja dia menolak permintaan perpanjangan apabila dia berpendapat penahanan terhadap terdakwa sudah tidak relevan untuk kepentingan pemeriksaan persidangan. Atau pengabulan perpanjangan hanya untuk sebagian. Misalnya hanya 10 hari atau 30 hari saja. Jika pemberian perpanjangan bersifat sebagian saja, hakim yang bersangkutan masih dapat mengajukan permintaan perpanjangan sampai batas maksimum perpanjangan yang dibenarkan dalam pasal 26 ayat (2) KUHAP
Apabila batas jangka waktu penahanan telah berakhir, dengan sendiinya menurut hukum terdakwa harus dikeluarkan dari penahanan. Pengeluaran demi hukum ini adalah tanpa syarat dan tanpa prosedur.
Memang pada saat-saat seperti inilah terjadinya hal-hal yang riskan. Apabila pemeriksaan belum selesai sedang batas waktu penahanan sudah berakhir, otomatis terdakwa harus dikeluarkan dan kembali ke tengah-tengah masyarakat, sedang kejahatan yang didakwakan kepadanya adalah pembunuhan. Dan pengadilan Tinggi sebagai peradilan tingkat banding sama sekali sama sekali belum bisa berbuat apa-apa sebab perkaranya sendiri pada Pengadilan negeri belum putus.
Jenis-jenis tahanan yang disebutkan dalam pasal 22[14] secara nyata tampak adanya perbedaan berat ringannya ketiga jenis penahanan tersebut. Penahanan pada Rumah Tahanan Negara termasuk jenis penahanan yang terberat. Di sana mereka terus menerus berada dalam rumah tahanan dengan penjagaan yang sudah disediakan. Kemudian menyusul lebih ingan sedikit, pada jenis penahanan rumah. Mereka berada dalam rumah tempat kediaman sendiri. Hanya saja kebebasan mereka di batasi untuk keluar rumah. Serta mereka dapat “pengawasan” dari pejabat yang mengeluarkan perintah penahana rumah. Yang paling ringan adalah penahanan kota.pembatasan kebebasan mereka tidak terlampau dikekang. Mereka boleh berkeliaran disepanjang kota. Hanya keluar kota saja yang dibatasi tanpa izin dari pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan kota. Dari kenyataan ini, tentu saja seseorang yang ditahan akan berusaha mendapatkan penahanan yang lebih ringan seandainya penahanan atas diri mereka tidak dapat dihindari. Untuk itu undang-undang sendiri telah membuka kemungkinan akan adanya penahanan secara pertikal. Bisa saja peralihan itu dari yang terberat kepada penahanan yang lebih ringan. atau sebaliknya dari yang ringan kepada yang lebih berat. Dengan demikian baik kepada penyidik, penuntut umum, hakim mempunyai wewenang melakukan pengalihan penahanan sebagaimana yang diatur dalam pasal 23[15].
Setelah diuraikan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa setiap instansi penegak hukum diber wewenang untuk melakukan dan mengeluarkan perintah atau penetapan penahanan. Dan oleh undang-undang sendiri, masing-masing instansi tersebut telah ditentukan secara terperinci batas-batas lamanya mereka dapat menahan seseorang baik tersangka atau terdakwa. Bagi masing-masing instansi baik penahanan yang bersumber dari mereka sendiri maupun atas dasar perpenjangan yang diperkenankan undang-undang, semuanya berada dalam ruang lingkup batas waktu yang sudah ditentukan secara limitative. Sehingga dengan demikian masing-masing instansi juga tersangka atau terdakwa dan keluarganya, sudah tahu dengan pasti sejauh mana panahanan suatu instansi berlaku. Apa yang telah di dibataskan tidak lagi dapat mereka lampaui sesuka hati. Baik Polisi/Penyidik maupun Jaksa /penuntut Umum demikian juga Hakim pengadilan, masing-masing sudah ditempatkan dalam suatu batas waktu yang tertentu dalam melakukan tindakan penahanan. Pembatasan kewenangan penahanan inilah yang diatur dalam pasal 24 KUHAP bagi penyidik, pasal 25 KUHAP bagi Penuntut Umumdan pasal 26 KUHAP bagi Hakim Pengadilan Negeri, Pasal 27 KUHAP bagi Hakim Pengadilan tinggi dan  Pasal 28 KUHAP bagi Hakim Mahkamah Agung.









BAB V
PENUTUP
A.           Kesimpulan
1.      Dari uraian Perkara No 212/PID.B/2005/PN.TNG maka terlihat bahwa ada beberapa poses atau tahap yang harus dijalani oleh seorang tersangka atau terdakwa sebelum ia menerima putusan hakim yaitu dari proses penyidikan sampai dengan proses peradilan.  Salah satu kewenangan penyidik adalah penahanan terhadap tersangka bila didapatkan bukti yang kuat serta untuk kepentingan pemeriksaan oleh penyidik untuk mendapatkan keterangan. Adapun jangka waktu penahanan yang berhak dilakukan oleh penyidik adalah 20 hari dan apabila memang sangat diperlukan untuk dilakukan penahanan lagi untuk mendapatkan keterangan dari tersangka maka Penuntut Umum dapat memperpanjang penahanan selama 40 (empat puluh) hari. Atas dasar sumber wewenang yang diberikan hukum kepada seorang penyidik, hanya dapat melakukan perintah-perintah penahanan untuk jangka waktu 20 hari. Apabila diperlukan demi untuk kepentingan pemeriksaan penyidik yang belum selesai, dapat memintakan perpanjangan kepada penuntut umum yang berwenang untuk memperpanjangnya paling lama 40 (empat puluh) hari. Dengan demikian lama maksimum atau batas jangka waktu masa penahanan yang diperbolehkan undang-undang bagi instansi penyidik, terbatas 20 + 40 hari = 60 hari, dengan ketentuan tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan tersangka dari tahanan sekalipun belum berakhir jangka waktu penahanan tersebut, jika ternyata kepentingan pemeriksaan sudah terpenuh dan pemberian perpanjangan dari penuntut umum bukan mutlak harus 40 hari, yang 40 hari ini adalah batas perpanjangan maksimum.
2.      Sesuai dengan ketentuan pasal 25 KUHAP memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk melakukan penahannan terhadap tersangka. Lama waktu penahanan yang dapat dilakukan oleh Penuntut Umum adalah 20 (dua puluh hari) tetapi hal ini masih dapat diperpanjang lagi guna kepentingan pemeriksaan oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah 30 (tiga puluh hari) dan perpanjangan yang diberikan hanya satu kali saja.
3.      Semua hakim pada semua tingkat peradilan mulai dari hakim pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung masing-masing mempunyai wewenang melakukan penahanan sesuai dengan batas-batas jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-undang. Waktu yang diberikan kepada hakim adalah 30 (tiga puluh hari) dan apabila diperlukan maka dapat meminta perpanjangan kepada ketua Pengadilan Negeri, perpanjangan yang diberikan tidak lebih dari 60 (enam puluh hari).

B.           Saran
1.      Penyidik harus  memperhatikan kasus yang ditanganinya agar tidak terjadi salah tangkap dan dalam mencari keterangan penyidik tidak boleh menggunakan cara kekerasan, serta harus menggunakan waktu yang diberikan oleh Penuntut Umum dalam rangka penahanan terhadap tersangka.
2.      Penuntut Umum Harus menggunakan waktu seefektif mungkin untuk melakukan penahanan terhadap tersangka karena ia hanya diberikan kesempatan sekali untuk melakukan perpanjangan penahanan.
3.      Hakim harus memeriksa dan memperhatikan dakwaan dan tuntutan serta alat bukti yang diajukan kepersidangan agar diperoleh keputusan yang tetap sehingga tidak perlu lagi memperpanjang penahanan. 








DAFTAR PUSTAKA

Harahap Yahya M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1995
Harahap Yahya M, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1995
Karyadi M dan Soesilo R., KUHAP dengan penjelasan, Bogor, Politeia, 1997
Hamzah Andi., Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2002
Nawawi Arief Barda, Bunga Rampai Kebijakan Publik, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 2002
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia (UI PRESS)
Sukanto Soerjono, Etika Profesi Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, (UI Press)
Suharto RM, Asas asas Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika
Undang-undang No 5 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Jakarta, Sinar Grafika, 2004
Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004
Undang-undang No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2004
Undang Undang No 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2000



[1]  M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Permasalahan Dan penerapan KUHAP, Jakarta, Pustaka Kartini, 1993. Hal. 23

[2]  M. Yahya Harahap, op.cit. Hal.169
[3] M. Yahya Harahap, Op.cit. Hal. 35
[4] R. Soesilo dan M Karyadi, KUHAP dan Penjelasannya Pasal 1 angka 21, Bogor,  Politeia Hal. 5
[5] M. Yahya Harahap, Op.cit, Hal. 172.
[6] M. Yahya Harahap,  Op.cit. Hal. 169
[7] M. Yahya Harahap. Op.cit. Hal 120
[8] M. Yahya Harahap. Op.cit  Hal. 174
[9] R. Soesilo dan M. Karyadi op.cit  Pasal 22 dan komentar Hal. 32
[10] M. Yahya Harahap, op.cit Hal 132
[11] M. Yahya Harahap,  op.cit. hal. 191
[12] R. Sosesilo dan M Karyadi, op.cit Hal. 32
[13]  M. Yahya Harahap, op.cit, Hal. 192
[14] KUHAP Pasal 22
[15] Ibid.