Kamis, 14 Juli 2011

Apakah Yang Mempengaruhi Sehingga Kekerasan dan Konflik Sosial Mudah Terjadi?


Kehidupan Bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius, berkaitan dengan semakin marak dan  meningkatnya intensitas perilaku kekerasan dan konflik sosial dalam masyarakat, baik itu yang bersifat vertikal maupun horizontal. Peristiwa-peristiwa ini seolah-olah begitu mudah silih berganti terjadi, di Tarakan, Bali, Sulawesi, NTB, bahkan Jakarta. Sungguh ironis, fakta ini berbanding lurus dengan minat masyarakat Indonesia untuk berhaji. Tapi tenang saja, asumsi saya tetap saja, para pelaku kerusuhan ini bukan mereka yang telah mendaftar untuk berangkat haji tahun ini (2010), dan insya Allah akan berangkat pada tahun 2015. Dan, terhadap kekerasan-kekerasan dan kerusuhan-kerusuhan itu, termasuk sikap-sikap saling menghasut, mencaci-maki, menyiksa, mencederai, merampas milik orang lain, mengusir, dan seterusnya, masyarakat kita pun seolah-olah menganggapnya sebagai hal yang biasa. Barangkali karena terlalu seringnya pertunjukan seperti itu muncul di tayangan-tayangan televisi kita.

Masyarakat kita yang “dulu” dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan lembut, kini seakan-akan berubah menjadi masyarakat yang mudah marah. Persoalan kecil dan sepele sekalipun, dengan mudah diselesaikan dengan cara-cara kekerasan.  Perkara saling ejek di antara individu-individu atau suporter sepak bola, ring tone/dering telepon, bisa berujung pada konflik sosial, atau bahkan kerusuhan kota. Pulang dari sekolah bisa menjadi alasan bentrokan di antara dua kelompok massa. Pertandingan sepakbola, konser musik, atau media-media pengumpulan manusia lainnya lebih sering menjadi ajang perkelahian.  Tentu saja ini bertolak belakang dengan karakter masyarakat kita  yang dikenal sebagai bangsa timur yang ramah dan pemaaf. Apa yang menyebabkan perubahan ini?

Imam B. Prasojo (Sosiolog UI) menyatakan bahwa hal ini terkait dengan pada umumnya orang Indonesia yang suka menggerombol dengan komunitasnya sendiri, mereka tidak mau menyatu dengan lingkungannya. Akibatnya, identitas kelompok menjadi semakin menguat, dan meniadakan komuninatas atau kelompok lain di luar komunitasnya. Secara teoritik, kondisi ini dapat dijelaskan dengan keadaan struktur sosial yang mengalami konsolidasasi (consolidated social strukture) sebagaimana dikemukakan oleh Peter M. Blau atau Nasikun.Sebenarnya segmentasi atau penggerombalan seperti yang diungkapkan oleh pak Imam Prasojo ini tidak masalah, selama di antara segmen-segmen masyarakat itu terjadi dialog dan komunikasi yang efektif, dan didukung dengan penegakan hukum yang bijak oleh para aparat penegak hukum.

Mengutip pendapat seorang pengamat sosial, William Chang, bahwa pemandangan kekerasan yang terjadi di masyarakat kita tak lain akibat frustasi sosial.  Lemahnya penegakan hukum dan pertikaian di antara elite bangsa yang sering ditayangkan di media massa menjadi pemicu kekerasan ini. “Masyarakat dilanda frustasi sosial. Orang cenderung melihat hidup tak lagi mempunyai makna. Hidup orang lain dinilai sangat murah, sama sekali tak dihargai martabatnya sebagai manusia”, demikian William Chang.

Prof. Sarlito Wirawan, Guru Besar Psikologi UI, melihat bahwa maraknya aksi kekerasan massa dipicu oleh seringnya tokoh bangsa berantem dan berdebat tanpa ujung di media massa, khususnya televisi. “Dalam teori psikologi, ada teori modelling. Ilustrasinya,  jika anak kecil diberi tayangan film yang di dalamnya ada adegan memukuli boneka, saat anak itu diberi boneka, ia akan ikut-ikutan memukul boneka itu. Jika di adegan film bonekanya dibelai dengan kasih sayang, si anak itu pun akan membelai bonekanya dengan penuh kasih sayang”.

 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar